ONTOLOGI TEKS
A.
Ekstensifikasi Makna
Makna tidak memiliki kekayaan apa-apa dalam bahasan
dan perenungannya tanpa adanya bantuan pemikiran yang bersumber dari
teori-teori dan penemuan-penemuan ilmiah. Maksudnya pemikirn disini adalah
pemikiran filsafat secara khusus. Model pemikiran tersebut sedikit berbeda
dengan pemikiran keilmuan karena ia merupakan hasil perenungan dalam hakikat
ilmu dan dalam pemikiran itu sendiri, yang senantiasa mendapatkan pengaruh dan
memperbaharuai diri dalam pendalaman terhadap khazanah keilmuan yang membentuk
suatu persoalan pokok dalam kerja filsafat.
Maka tidak mengherankan jika dalam analisa semiotika
bahasa, ia dianggap sebagai salah satu analisah ilmiah terpenting yang
ditemukan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan abad ini. Penemuan ini terwujud bersamaan
dengan lahirnya ilmu bahasa di tangan Linguis terkenal bernama Ferdinand de
Saussure. Sedangkan peletak dasar ilmu semiotika adalah seorang Filsuf Besar
Amerika Carl Pierce, seperti yang dikenal bersama dan ditulis secara terperinci
oleh ‘Adil Fakhuri dalam bukunya yang berjudul Tayyarat fi al Simiyya’.
Analisa siomitika mencerminkan pengulangan pembacaan
dalam memahami suatu tanda kearah perubahan pola hubungan antar penanda dan
petanda, atau pengaturan ulang pola hubungan antar kata benda dan makna. Dari
sini, diketahuai bahwa tanda itu tidaklah berkaitan dengan unsur eksternal
secara langsung, akan tetapi lebih cenderung kearah penanda yang lain, yaitu
pemahaman atau deskripsi akal budi. Demikianlah posisi deskripsi akal budi
diantara tanda dan rujukannya yang merupakan suatau bentuk independen yang
memiliki hakikat dan berbagai eksistensialnya. Contohnya adalah ketika kita
mendengar dan membaca kata insan. Kita
tidak akan membanyangkan sesuatu yang ada diluar batin, dalam bahasa kita dan
kepada sesuatu yang kita sebut Insan secara
langsung. Tapi yang kita bayangkan adalah deskiripsi dan makna sepanjang yang
kita pahami dan merupakan ungkapan interpretasi kita terhadap kata tersebut.
Paparan diatas merupakan gambaran terbaru tentang
tanda yang berasal dari pemikiran barat. Akan tetapi hal itu tidak terjadi
dalam pemikiran arab klasik yang tampak pengaruhnya saat ini dalam beragam
aspek dan bidang studi linguistik. Seorang ahli linguistic arab, Yahya Ibnu
Hamzah, ketika berbicara tentang hubungan Antara bahasa dengan benda,
menerangkan dengan jelas bahwa kata-kata itu pada hakikatnya menunjukan
makna-makna akal budi tanpa terkait dengan eksistensi eksternal.
Studi logika membedakan suatu benda berdasarkan 4
tingkatan atau 4 bentuk, yaitu eksistensi kebendaan (fisik) eksistensi akal
budi (non fisik), eksistensi verbal (lisan) dan eksistensi tulisan. Pernyataan
bahwa suatu benda itu memiliki eksistensi non fisik (akal budi) berate bahwa deskripsi akal budi
membentuk ukuran optimisme dan posisinya dalam wilayah makna.
Kesimpulannya adalah bahwa analisa semiotik
mengandung tiga aspek penting, yaitu (1) celah yang terbuka Antara tanda
(symbol) dan pemikiran, atau Antara pembicaraan dan pandangan, karena kita
selamanya membicarakan sesuatu yang tidak tampak, atau kita menggunakan symbol
yang tidak menunjukan identitas yang lain. (2) bahwa tidak mungkin ada sebuah
pemokiran tanpa suatu system bahasa dan system tanda (symbol). Untuk itu, kosa
kata menciptakan sesuatu dengan makna tertentu. (3) bahwa tidak ada pemkiran
tanpa gambaran-gambaran dan analogi-analogi, atau tidak ada pemikiran tanpa
aspek imajinasi-simbolik.
B.
Beragam Metode dan Komentar
Diantara beragam tema yang berkembang dalam
perbincangan dan wacana kita adalah tema tentang penggunan rasio. Ada
pernyataan bahwa kita belum menggunakan rasio kita sebagimana mestinya, atau
bahwa seseorang belum mempergunakan rasio sebaiknya mungkin, atau ungkapan lain
yang menyatakan bahwa seseorang menyatakan sesuatu tanpa menggunakan rasionya.
Kenyataannya, ketika kita berkata bahwa kita tidak
mampu mempergunakan rasio dengan baik, maka siapakah yang dimaksud dengan kita
pada pernyataan tersebut? Atau dengan kalimat yang lebih jelas, aspek apakah
yang mencerminkan kelebihan rasio seseorang? Apakah aspek tersebut adalah
sesuatu diluar rasio atau rasio lain yang lebih tinggi dan senantiasa kita
jadikan pedoman? Apabila aspek tersebut berada diluar rasio, maka apakah
sesuatu tersebut? Apakah ia merupakan dzat yang menjadi sumber segala
inspirasi, pengetahuan dan perbuatan? Kalau benar demikian. Maka rasio adalah
petunjuk jalan dan sumber kebijaksanaan.
Kenyataannya, apakah kita menggunakan rasio dan
mengikatnya, atau rasio kitalah yang mengarahkan dan mengikat kita, baik
disadari atau tidak. Pada ahirnya, kita kembali pada proses kreativitas itu
sendiri atau ungkapan pertanyaan tentang hubungan sebuah subjek dengan
rasionya. Apakah manusia itu menguasai apa yang dipikirkan dan dipahaminya?
Atau apakah ia hanyalah instrument bagi pemikirannya sendiri? Atau apakah ia
dan pemikirannya saling menguasai satu sama lain? Atau apakah ada persoalan
lain? Kita sebenarnya terjebak pada banyak persoalan yang tidak akan pernah
berhenti tentang hubungan kita dengan rasio kita, atau lebih tepatnya adalah
hubungan rasio dengan dirinya sendiri. Untuk itu, maka orang-orang yang
mempergunakan ungkapan “penggunaan rasio” seyogyanya menerangkan metodologi
penggunaan rasio seseorang oleh pemiliknya sendiri.
Orang-orang
tersebut menipu kita dan menipu diri mereka sendiri di suatu waktu, karena
mereka menggunakan rasio untuk sesuatu yang mereka akui dalam melakukan
penilaian dengan standar rasio kita dan meluruskannya. Namun sesungguhnya,
mereka menggunkan pemikiran terhadap apa yang mereka inginkan untuk diungkap
dengan metode pemikiran mereka bagi orang lain.
FILSAFAT DAN
PEMBENTUKANNYA
A.
Para Filososf Sebagai Spiritualis
Sekelompok teolog selalu merasa gembira ketika
menemukan pendapat yang mengecam paham materialisme dan mendukung paham
spiritualisme, khusunya jika pendapat tersebut bersal dari barat. Mereka
menganggapnya sebagai kemenangan paham mereka, sekaligus sebagai ilustrasi
“pertobatan” barat dan paham materialisme yang mereka anggap sebagai pemikul
tanggungjawab atas kerisis dan bencana yang dialami umat manusia dewasa ini.
Maksud dari kata “mereka” disini adalah para intelektual, peneliti dan juru
dakwah kontemporer yang memetakan dirinya kedalam ideology islam. Mereka
menyakini bahwa konsepsi islam tentang alam adalah konsepsi spiritual yang
ideal. Saya menyebutnya konsepsi islam, bukan konsepsi alquran, karena alquran
jauh lebih luas dari pada apapun yang dapat dipahami oleh interpretasi
tertentu, jauh melebihi apapun yang dapat dicakup oleh aliran tertentu serta
tidak dapat dibandingkan dengan propaganda apapun yang disadarkan kepadanya
atau yang mengklaim monopoli interpretasi dan pemahaman terhadapnya.
Jika kosepsi para islamisis tentang islam tidak
sesuai, disatu sisi, dengan pandangan alquran, maka ia juga tidak sesuai,
disisi lain, dengan pandangan umat islam kebanyakan terhadap agamanya. Hal itu
karena konsepsi para intelektual, spesialis, dan juru dakwah berbeda dengan
konsepsi umat secara umum, seperti perbedaan Antara para ahli dan mayoritas
manusia, atau perbedaan Antara rasio teoritis dan indra praktis.
Secara singkat, filosof berpendapat bahwa alam
duniawi adalah alam yang skunder, tidak memadai, dan suatu saat akan rusak.
Sebaliknya mereka memandang wujud yang hakiki adalah alam rasio dan ruh yang
murni dengan kebahagiaan tertinggi yang terletak pada kenikmatan ruhani yang
lepas sama sekali dari potensi-potensi jasmani dan peralatan-peralatan indrawi.
B.
Siapakah Filosof Itu?
Orang yang berfikir dan berteori tentang sebuah
persoalan tentu saja tidak dengan serta merta dapat dianggap filosof. Manusia
sebagai sosok yang rasional tidak pernah berhenti berfikir. Ia akan menemukan
pendapat pendapat otentik, menghasilkan makna-makna yang tinggi, menyusun
pemikiran-pemikiran yang bernilai, serta mendirikan cabng-cabang keilmuan yang
rapi. Pada ahirnya, tidak ada seorangpun yang dapat lepas dari akal dan
pandangannya sendiri.
Namun seorang filosof tidak berenti disana. Ia tidak
membatasi pandangannya pada upaya mengambil kesimpulan dibidang tertentu,
merintis ilmu pengetahuan baru, atau menyingkap aturan-aturan dari fenomena
alam. Nalar memang seringkali memerlukan penelitian, pengambilan kesimpulan,
pengujian, atau bahkan kritik dan penentangan persis disanalah terletak inti
kegiatan filsafat. Karakteristik nalar filosofis adalah keraguan terhadap
intuisi, pengujian terhadap aksioma, dan pembebasan dari bias-bias ideology.
Disisi lain, nalar filosofis juga menguji aksioma
aksiomanya sendiri, menentang pernyataan-pernyataannnya atau bahkan menghakimi
dirinya sendiri. Tapi satu hal yang perlu dicatat, ia tidak melakukannya atas
nama otoritas lain atau untuk mengakui adanya hal yang tidak dapat di
perdebatkan.
Secara singkat, filososf adalah orang yang menggali
sampai ke dasar dan “menentukan perspektif baru dalam berfikir”. Ia juga adalah
sosok yang menyimpulkan prinsip-prinsip pengetahuan dan memberikan dasar bagi
aktifitas dan kehidupan social yang beradaban serta melontarkan pernyataan baru
tentang eksistensi. Diatas semua itu, ia merupkan orang yang “selalu risau
dengan pertanyaan”, yang selalu ragu dan tidak pernah menganggap ada jawaban
yang telah tersedia bagi “pertanyaan tentang pertanyaan”, yaitu pertanyaan tentang
hakikat eksistensi: asal, substansi, devinisi, makna dan pemahamannya.
Filsafat memang sering kali merupakan kegilaan,
ateisme, dan kesesatan bila pandangan dari nalar keimanan, aqidah, atau
ideology yang religious maupun yang skuler, ilmiah atau tidak samawi atau ardli. Namun itu tetap tidak
akan mengubah kenyataan sedikitpun.
C.
Socrates : Sosok Yang Selalu Hadir
Masih adakah ruang untuk membahas mengenai socrates?
Tidak diragikan lagi bahwa sokrates adalah guru
besar dari seluruh guru pemikiran. Ia bahkan adalah guru pertama. Ia adalah
orang pertama yang mencari pengetahuan melalui defenisi (al-hadd) dan analogi
(al-qiyas), seperti diungkapkan Aristoteles. Definisi dan analogi adalah dua
bidang logika dan dua jenis pengetahuan. Kalau bukan karena Socrates, niscaya
tidak ada plato, karena ia secara garis besar adalah pengengembang gagasannya.
Kisidis melalui penelitiannya tentang Socrates
dengan membahas teka-teki pemikiran maupun kehidupannya. Dalam pemikiran,
Socrates menimbulkan teka-teki ketika ia berkata, “cari tahu tentang dirimu
terlebih dahulu”. Pengetahuan manusia tentang dirinya, menurut Socrates, dasar
segala pengetahuan, bahkan merupakan tujuan ilmu dan inti kebijaksanaan. Karena
itu, disepanjang hidupnya, Socrates tidak pernah berhenti mengajar sekaligus
belajar. Ia juga pernah mengatakan: “semua hal yang kuketahui adalah bahwa aku
tetap tidak mengetahi apa-apa”.
Namun teka-teki Socrates tidaklah terbatas pada
pemikirannya, melaikan secara khusus juga dalam hidupnya. Socrates adalah
seorang filosof yang bijaksana, bahkan merupakan contoh manusia sempurna.
Kebujaksanaan bukanlah soal pikiran semata. Kebijaksanaan adalah ilmu dan amal.
Kesempurnaan terhadap pada diri yang mengetahui ilmu yang benar dan
mengaplikasikannya dalam amal yang juga benar. Ilmu tanpa amal tentu saja tidak
memadai, sebagaimana amal tanpa ilmu adalah mustahil.
Mengapa Socrates pasrah menerima hukuman mati yang
dijatuhkan kepadanya padahal ia berpendapat bahwa hukuman itu telah memasung
hak-haknya?
Kematian Socrates kadang dianggap sebagai sekedar
upaya untuk menyempurnakan mitos kepeloporannya. Ada pula yang menganggapnaya
sebagai hal penting bagi pengembangan nalar dan filsafat, sebagaimana Allah
merupkan dzat yang wajib ada dengan sendirinya bagi siapapun yang menganggap alam
ini tidak sia-sia.
Interpretasi apapun yang diberikan padanya harus
diakui bahwa kematian Socrates adalah keajaiban tersendiri. Kematiannya menjadi
bukti bahwa siapapun yang mati menghadapi kenyataan adalah syahid secara pasti.
Dia memilih mati dari pada harus bungkam dari mengutarakan kebenaran. Kematian
baginya adalah kesempurnaan dan puncak penyaksian. Kematian Socrates adalah
sebagai dari rahasia-rahasia kepeloporan yang senantiasa dipikirkan dan di
interpretasikan oleh pikiran. Karena itu, Socrates tidak pernah hilang. Ia
terus hadir sebagai pembaharu. Socrates adalah sosok yang terus hadir dan
hidup.
KRITIK ATAS
KEBENARAN
A.
Arabisasi dan Westernisasi
Seperti yang dinyatakan orang-orang, sekarang adalah
zaman ala Barat dan Amerika karena peradaban merekalah yang paling unggul saat
ini sebagai orang arab, kita telah melewati suatu masa kemuliaan dan keemasan.
Saat itu, kita berada pada posisi paling tinggi diantara seluruh manusia,
setelah pristiwa turunnya al-quran dan penyebarannya dalam rangka membuka dunia
dan memerdekakan sebgian besar Negara dan kerajaan yang terdapat didalamnya.
Namun dalam persoalan tersebut, ada segi lain yang
senantiasa mengiringnya, yaitu pemutar-balikan ayat dan tipuan mata bagi
subyeknya sendiri. Arabisasi alam semesta yang pada awalnya terjadi secara
kreatif, kemudian berubah menjadi peniruan dan pengulangan.
Tidak ada yang mengherankan, bahwa manusia pada
awalnya adalah subyek kreatif yang mampu menafsirkan sesuatu yang ghaib dengan
hasil pandangan indrawinya, membaca sesuatu yang lama dari kaca mata kekinian
dan merubah sesuatu yang khayal menjadi kenyataan. Saat itu, rasio adalah
subyek penilai dan bukan obyek yang dinilai, sesuai dengan kemampuannya dalam menciptakan
pemahaman baru tentang tuhan, atau menggali makna dari balik suatu teks serta
menundukannya dalam wilayah dan strategi pemikirannya.
Padahal yang terjadi adalah bahwa nilai-nilai lama
telah mempergunakan kekuatannya. Sejak lama, ia merekonstruksi atau kembali
menjadi factor-faktor penggerak, referensi yang benar dan ukuran yang tepat.
Bersamaan dengan hal itu, kita sendiri sampai saat ini belum mampu untuk
memproduksi nilai-nilai baru atau meletakkan dasar-dasar acuan yang modern.
Maka untuk itu, sebagai pengganti dari apa yang menjadi mukjizat dan ciptaan
kita didunia ini, kita masih memperhatikan nilai-nilai nenek moyang yang
mengikuti jejak para generasi terdahulu.
Kesimpulan dari paparan ini adalah, bahwa gambaran
dan nilai-nilai arabisasi alam semesta yang sampai saat ini masih bersemayam
diruang khayal bangsa arab merupakan konsep pencerahan dan penerapan
rasionalisasi yang tampak dalam temeuan-temuan ilmiah. Ia merupakan ekspresi
subyektif dengan perwujudan serta kepemilikan hak dan penemuan eksistensi diri.
Sedangkan wacana arab kontemporer tenang subyektivitas dan esensi sangat jauh
dari penemuan, pengungkapan dan perwujudan akibat ideology yang menguasainya
yang telah meneggelamkannya dalam kecintaan pada diri sendiri.
B.
Mukmin dan Ateis
Seorang mumin tidak dapat melepaskan sikap
kebertuhanan dari paham ateisme, walaupun ia mengaku mempercayai Tuhan dan
mengingkari paham ateisme.
Pandangan ini menutupi materi yang dibicarakan
secara substansial karena disana terdapat suatu yang selamanya tidak dapat
dilihat oleh pandangan manusia, sebagaimana ujaran yang kita kenal secara umum
bahwa kita bisa saja membicarakan sesuatu yang tidak kita lihat dan melihat
sesuatu yang tidak kita bicarakan. Sebuah wacana menutupi sesuatu sejauh apa
yang yang diungkapnya. Ia menyatakan suatu subtansi sekaligus menyembunyikan
bagian lainnya. Sementara identitas adalah sesuatu yang tampak, dapat diketahui
dan ditangkap, tidak tertutup oleh kebodohan, dugaan bahkan misteri.
Seseorang tidak boleh mengadopsi kata-kata seorang
mukmin tentang konsep keimanan dan ateisme. Setiap orang mengekspresikan
identitas dan eksistensinya dengan bahasa tertentu bertolak dari suatu sumber
tertentu, atau merujuk pada warisan dan tradisi tertentu. Setiap orang dengan
sendirinya akan berafiliasi kepada suatu golongan tertentu dan merasa terikat
dengannya tanpa harus membutuhkan kehadiran orang lain. Singkatnya, setiap
orang menjadikan bahasa dan karya tulisnya sebagai media ekspresi dan bersandar
pada jasadnya sendiri. Penyandaran pada jasad sendiri itu bermakna bahwa setiap
individu dari kita menjauhkan diri dari kebutuhan-kebutuhannya, menyembah
nafsunya dan menampakkan kekuatannya.
Seorang Ateis murni akan mengekspresikan
kemanusiannya hanya menemui sedikit kesulitan, jikalau dalam dirinya tidak
terdapat persinggungan aktivitas dengan orang lain. Kadangkala, ia mencuri
untuk makan atau memenuhi kebutuhannya. Kadangkala, ia juga membunuh dalam
kemarahannya yang berlebihan. Akan tetapi, ia tidak mungkin membunuh Tuhan atau
menghindari dari segala jenis kepercayaan.
Sebenarnya, seorang Ateis murni – karena sedikitnya
keberadaan ilmuan murni – hanyalah pencari kebenaran yang tidak termasuk
penjaga akidah (kepercayaan). Seorang pencuri kebenaran tidak akan pernah sampi
kepadanya dari kebesaran cinta dan ketinggian semangatnya kepada kebenaran itu.
Dari sinilah, kecendrungannya kearah kerusakan dan ketiadaan komitmen menetas.
Sementara orang-orang yang memperlukan kebenaran
dari sudut pandang madzhab dan school of thought-nya, atau dalam bentuk tunggal,
simplifikatif dan dogmatis, tentu saja akan mengingkarinya sesuatu dengan apa
yang menjadi fanatisme dan eksklusivitasnya serta menutup-nutupinya sesuai
dengan tujuan mereka untuk merubah manusia menjadi alat dan sarana bagi
aturan-aturan akidah dan ideology mereka. Disinilah letak urgensi posisi para
juru dakwah dan ahli akidah dalam semua jenis akidah diberbagai wilayah dunia,
baik dari kalangan teolog maupun skuler – karena mereka bertolak dari satu
titik, yakni titik agama, nasionalisme, stratifikasi social atau geografis.
Memang, Nietzsche merupakan cikal bakal ateisme
murni. Kehidupan dan pemikirannya (kehidupan dalam teori Nietzsche adalah
berfikir, karena pemikiran adalah kekuatan) berada kekhatiran yang abadi,
penerobosan yang terus menerus dan penelitian yang tidak mengenal titik akhir
atas tingkatan-tingkatan pemikiran dan geografi teks. Ia menjelaskan kepada
kita bahwa wacana kebenaran disusun dari suatu system kepercayaan, permainan
kekuatan dan serangkai analogi dan metafora.
Kegilaan Nietzsche merupakan kesaksian dirinya,
bahwa sikap ateismenya itu belum bisa terpadu dengan alam semesta ini dan belum
mungkin disusun didalamnya. Kalau tidak, maka ia akan terpotong-potong bersama
dirinya dan segala yang tersembunyi dan tertutup. Kadangkala, ia menjadi sangat
teologis dan lebih memasuki dunia malaikat dari pada para teolog itu sendiri.
Hal itu karena perjalanan para penyembah Tuhan didunia ini menuju kearah
kesatuan dan bersifat tipikal, mabuk dan tidak sadar, tersembunyi dan
misterius, tertelan oleh racun dan sesuatu yang lebih sulit lagi. Batas ahir
mereka adalah berpadu dengan alam semesta dan menyususn hasil ciptaannya, duduk
bahagia dalam posisi mereka, dominan atas wilayah yang mereka kuasai, tinggal
dalam otoritas mereka, memiliki ksatuan yang kuat dan tentran dalam kekuatan
mereka.
LIBERALISME DAN
DEMOKRASI
A.
Penegakkan Liberalisme
Ketika membicarakan tentang liberalism, seseorang
tidak mungkin terminology yang berlaku pada abad ke-18M, atau pada tahun 50-an.
Dalam konsep liberaslisme yang mengandung keseimbangan Antara pemikiran dan
metodologi pemberlakuannya, aspek terpenting adalah potensi pemikiran itu
sendiri, sehingga didalam benak kita tidak tercampur-aduk dengan
ungkapan-ungkapan khusus yangakan membelenggu metodologi penelitian tertentu.
Di dalamnya, ekspresi kebebasan tidak kembali bersandar sepenuhnya pada salah
satu aliran pemikiran tertentu, termasuk pemikiran tentang kebebasan itu
sendiri. Ia juga, tidak kembali terikat sepenuhnya pada konsep-konsep
rasionalisme dan demokrasi , karena yang terpenting disini adalah metodologi pemberlakuan kita terhadap
aliran pemikiran tersebut, seperti bagaimana kita mengambil manfaat dan
mempergunakannya.
Libanon – tidak digunakan lagi – merupakan sebuah
Negara yang menampakkan liberalism menurut metodenya sendiri sesuai dengan
struktut sosialnya yang primordial. Hal tersebut tampak dalam system ekonominya
yang bebas dan system hokum yang dibangun berdasarkan beragam sumber hokum. Ia
juga tampak dalam bidang pemikiran yang terbuka dengan beragam referensi
budaya, berbagai orientasi pemikiran dan bermacam-macam model perilaku.
Tidaklah aneh kalau saat ini libanon telah
merekonstruksi liberalismenya yang tercermin dari usaha menyelamatkan
penduduknya yang baru saja mrekonstruksi subyektivitasnya. Hal tersebut
dibuktikan dengan keterbukaan antar kelompok dan wilayah, yakni keterbukaan
yang memberikan kontribusi pemulihan kembali hubungan yang terputus dikalangan
mereka serta pada perluasan wilayah pengetahuan serta saling memberi dan
menerima pada generasi baru yang selama ini di[engaruhi oleh wacana mobilisasi,
peperangan, fanatisme serta permusuhan.
Karakter khusus liberalism dilibanon adalah
primordialisme (fanatisme kelompok) yang diekspresikan dalam rangka
keseimbangan kelompok. Itulah kelebihan yang menjadi antonym anggapan orang
selama ini. Model komunikasi yang dibangun oleh seluruh kelompok yang ada di
Libanon ini merupakan kecendrungan masyarakat Libanon untuk mengekspresikan
kebebasannya dalam berpendapat, mengatur dan mendirikan partai-partai politik.
Artinya, kelompok itu tidak dngan sendirinya bertentangan dengan liberalism, sebagaimana
juga masyarakat industry skuler yang bukan merupakan persyaratan penting bagi
oprasionalisasi liberalism seperti yang dibayangkan orang selama ini.
Liberalisme memiliki batasan-batasan. Ketika sesuatu
melampui batas-batasnya, maka ia akan berubah menjadi kebalikannya. Untuk itu,
cara memandang liberalism tidak dapat dilakukan dengan cara teologis sebagai
sebuah tujuan yang paling tinggi Yng menundukkan seluruh aktivitas yang ada.
Liberalism bukanlah “surga”. Ia memiliki akibat dan
elemen yang membahayakan. Marabahaya terbesarnya adalah ketika aktivitas
liberalism itu dikuasai oleh satu sentral, satu orientasi, satu elemen atau
satu aspek. Kenyataan inilah yang terjadi sampai sekarang. Liberalism bukan
jalan terahir serta tidak dapat diposisiskan seperti itu karena jalan terahir
merupakan konsep yang bertentangan dengan kebebasan itu sendiri. Liberalism
tidak memiliki keterbatasan jika tidak diposisikan sebagai jalan terahir yanga
akan ditempuh.
Liberalism tidk akan terwujud kecuali jika seseorang
berusaha untuk menciptakan liberalism itu secara khusus. Ia harus memiliki
kemampuan untuk breaksi dan memproduksi sesuatu, yang dengan peran itu ia
menciptakan sumber publikasi dan sentra ekspresi budaya.
Kritik Choamsky terhadap demokrasi yang terjadi di
negaranya memang mendapatkan tanggapan dari kalangan budayawan arab yang
mencoba merubahnya dengan imprealisme yang menjadi pandangan dunia baru sebagai
tujuan yang menyertai situasi kelemahan, ketidakmampuan, kemerosotan dan
kemunduran yang dialami oleh masyarakat arab. Kririk ini menjadi perantara,
agar mereka bergabung kepada kedudukan mereka dan tenggelam dalam perasangka
mereka. Tuntutannay saat itu adalah bahwa orang yang dipinggirkan membentuk
dirinya sendiri menjadi salah satu diantara sekian banyak pusat publikasi,
dominasi dan pengaruh.
Karean itu, kita tidak boleh mendasarkan pemikiran
kita pada satu prinsip bahwa orang-orang selain kita memikul tanggung jawabnaya
sendiri atas segala hal yang terjadi didunia ini, sehingga kita tidak
menghakimi diri kita sendiri dengan segala keterbatasannya. Marilah kita
memperlihakan potensi kita dan menegakkan liberaisme kita.
KRITIK DAN
DIALOG
A.
Kebutaan Ideologi
Prof. Karim Marwah, seseorang pengamat partai
komunis Libanon, menyatakan jawabannya seputar pertanyaan tentang sejarah
komunisme setelah keruntuhan dan kehancuran Uni Soviet. Dia menyatakan,
“komunisme sebagai suatu system nilai dan idealism belum dan tidak akan mati.
Ia menghususkan diri pada pembahasan tentang kebebasan, pengetahuan, kemajuan
dan keadilan social. Wilayahnya mencakup seluruh ajaran agama langit dan bumi
beserta seluruh system kepercayaan, teori-teori social dan filsafat. Yang hancur
hanyalah bentuk yang teraba untuk mentransfer system nilai dan idealism
tersebut dari wilayah konseptual kewilayah ralitas”.
Memang dalam setiap ideology atau aliran tertentu
terdapat suatu aspek yang abadi dan berkembang secara terus menerus dan aspek
lain yang mati dan tercerai-berai. Yang abadi adalah idealism meta-realitas
yang berada diluar sejarah sebagai nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keadilan
dan kebebasan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa marxisme juga memiliki
aspek idealism. Sebagaimana juga dlam setiap ideology, ia juga memiliki
karakter spiritualis, bahkan teologis. Padahal marxisme dan sebagian dari
komunisme telah gagal karena alasan tersebut. Ia gagal akibat menjadi
spiritualis, teologis dan idealis – walapun kegagalan itu lahir dan berkembang
secara realistis dan historis. Para pengikut marxisme sama pendapatnya dalam
posisi ini, atau dalam tipuan pemikiran ini, dengan para juru dakwah islam yang
memasukkan materi pemisahan Antara islam sebagai sebuah risalah, kepercayaan
dan system nilai dengan islam sebagai Negara yang diperintah dengan namanya
dalam materi dakwahnya, atau antar islam trasanden, ideal dan tegak diatas
identitasnya dengan bentuk-bentuk aplikasinya. Para juru dakwah islam merasa
sedih atas kemunduran dunia islam atau kegagalan syari’ah islam, serta bukan
tentang identitas islam itu sendiri, bahkan terhadap usaha-usaha aplikasinya
dalam realitas dan sejarah.
Apapun yang terjadi, posisi komunisme, seperti yang
dipaparkan oleh prof. Marwah, menunjukan kepada kita hasil pemikiran budaya arab
yang memberikan keahlian dalam memperbaiki sesuatu dan pengaruh sikap seseorang
dengan kepuasan-kepuasan tertentu. Budaya ini merupakan perubahan pelaksanakan
penelitian terhadap metode yang dipergunakan dan kritik terhadap ideologinya,
dengan dasar-dasar dan pondasinya, guan merekonstruksi realitas dengan bahasa
baru dan rasionalisme produktif. Teks tentang marx tersusun atas sesuatu yang
tidak diungkapkannya. Ia mengebadikan sesuatu yang memiliki jarak dengan
subyeknya dan dengan sesuatu yang harus dibangunnya.
Marx berfikir dan menghasilkan beragam pengetahuan
dalam wilayah realitas pemikirannya. Sebagai orang pemikir, ia berfikir dengan
bebas dab fleksibel. Ia melakukan perubahan, pergantian, pengembangan dan
pembaharuan, seperti yang terjadi pada setiap orang yang merintis sesuatu.
Sedangkan pengikutnya adalah orang-orang yang lemah untuk berfikir produktif,
sesuai dengan keterbelengguan mereka dalam system ajaran dan pengetahuan
mereka.
Orang-orang buta dalam ideology marxisme adalah
mereka yang menafsirkan seluruh kegagalan yang mereka alami dan kehancuran yang
mereka perbuat sendiri. Ia merupakan pemisah dari semua spirit yang ada dimuka
bumi ini. Ia merupakan penghancuran maka yang terjadi penyebab kelahiran spirit
itu.
TEORI-TEORI
DIALOG
A.
Islam Pluralis
Saya memiliki pandangan khusus dalam memaknai islam.
Saya tidak sepakat terhadap pendapat yang menyatakan islam itu satu. Pendapat
saya ini berbeda dengan pandangan banyak aliran, mazhab dan masyarakat, yang
juga didukung oleh perbedaan bahasa, bangsa dan waktu. Maka pandangan-pandangan
tersebut menjadi tidak dibutuhkan bagi kaum muslimin sendiri telah berbeda diantara
mereka sejak wafatnya Rosulullah, pelekat dasar-dasar hokum islam. Sejak saat
itu, mereka mengekspresikan perbedaan mereka dalam menafsirkan teks dan
metakwilkan wacana serta memperdebatkan pembacaan peristiwa-peristiwa yang
berkaitan dengan penciptaan pertama. Inilah yang menjadikan islam berbeda
dengan substansinya berdasarkan perbedaan pandangan terhadapnya, ekspresi yang
mengungkapkannya dan aspek-aspek pembentukannya.
Orang-orang yang mengakui keberadaan hakikat ini
atau yang berpendapat bahwa islam berperan dalam pembentukan keberagaman dan
pluralitas serta situasi yang mendukung terciptanya kreativitas dan temuan
baru, dapat saja berdialog dengan umat islam dan seluruh manusia. Sedangkan
orang-orang yang menyatakan bahwa islam pada hakikatnya adalah satu, berdiri
dalam esensinya, beragam dala satu jiwa, jauh dari segala perubahan dan
perbedaan, serta terisolasi dari kreativitas dan penyimpangan, pada dasarnya
mereka adalah orang yang memiliki satu pendapat yang sama sekali berbeda dengan
islam yang niscaya mengalami beberapa berbedaan akibat perbedaan penganutnya
dalam menjalankan ajarannya dengan beragam cara yang berbeda, bahkan kadangkala
saling bertentangan.
Orang-orang
yang menjunjung prinsip kesempurnaan dan kekosongan esensi dari segala perbedaan
dan perubahan adalah orang-orang yang paling tidak mendapatkan manfaat apa-apa
dari sebuah dialog serta tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain. Mereka
hanya menyebarkan fitnah dan menumbuhkan kesengsaraan belaka. Singkatnya,
pengakuan perbedaan diri kita dengan orang lain adalah cara untuk menumbuhkan
rasa saling pengertian dengannya. Sebaliknya, ketika tidak mengakui adanya
perbedaan itu maka berarti tidak aka nada kemungkinan untuk berdialog dan
saling mengerti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar