Rabu, 16 Desember 2015

NALAR KRITIS ISLAM KONTEMPORER

ONTOLOGI TEKS
A.    Ekstensifikasi Makna
Makna tidak memiliki kekayaan apa-apa dalam bahasan dan perenungannya tanpa adanya bantuan pemikiran yang bersumber dari teori-teori dan penemuan-penemuan ilmiah. Maksudnya pemikirn disini adalah pemikiran filsafat secara khusus. Model pemikiran tersebut sedikit berbeda dengan pemikiran keilmuan karena ia merupakan hasil perenungan dalam hakikat ilmu dan dalam pemikiran itu sendiri, yang senantiasa mendapatkan pengaruh dan memperbaharuai diri dalam pendalaman terhadap khazanah keilmuan yang membentuk suatu persoalan pokok dalam kerja filsafat.
Maka tidak mengherankan jika dalam analisa semiotika bahasa, ia dianggap sebagai salah satu analisah ilmiah terpenting yang ditemukan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan abad ini. Penemuan ini terwujud bersamaan dengan lahirnya ilmu bahasa di tangan Linguis terkenal bernama Ferdinand de Saussure. Sedangkan peletak dasar ilmu semiotika adalah seorang Filsuf Besar Amerika Carl Pierce, seperti yang dikenal bersama dan ditulis secara terperinci oleh ‘Adil Fakhuri dalam bukunya yang berjudul Tayyarat fi al Simiyya’.
Analisa siomitika mencerminkan pengulangan pembacaan dalam memahami suatu tanda kearah perubahan pola hubungan antar penanda dan petanda, atau pengaturan ulang pola hubungan antar kata benda dan makna. Dari sini, diketahuai bahwa tanda itu tidaklah berkaitan dengan unsur eksternal secara langsung, akan tetapi lebih cenderung kearah penanda yang lain, yaitu pemahaman atau deskripsi akal budi. Demikianlah posisi deskripsi akal budi diantara tanda dan rujukannya yang merupakan suatau bentuk independen yang memiliki hakikat dan berbagai eksistensialnya. Contohnya adalah ketika kita mendengar dan membaca kata insan. Kita tidak akan membanyangkan sesuatu yang ada diluar batin, dalam bahasa kita dan kepada sesuatu yang kita sebut Insan secara langsung. Tapi yang kita bayangkan adalah deskiripsi dan makna sepanjang yang kita pahami dan merupakan ungkapan interpretasi kita terhadap kata tersebut.
Paparan diatas merupakan gambaran terbaru tentang tanda yang berasal dari pemikiran barat. Akan tetapi hal itu tidak terjadi dalam pemikiran arab klasik yang tampak pengaruhnya saat ini dalam beragam aspek dan bidang studi linguistik. Seorang ahli linguistic arab, Yahya Ibnu Hamzah, ketika berbicara tentang hubungan Antara bahasa dengan benda, menerangkan dengan jelas bahwa kata-kata itu pada hakikatnya menunjukan makna-makna akal budi tanpa terkait dengan eksistensi eksternal.
Studi logika membedakan suatu benda berdasarkan 4 tingkatan atau 4 bentuk, yaitu eksistensi kebendaan (fisik) eksistensi akal budi (non fisik), eksistensi verbal (lisan) dan eksistensi tulisan. Pernyataan bahwa suatu benda itu memiliki eksistensi non fisik  (akal budi) berate bahwa deskripsi akal budi membentuk ukuran optimisme dan posisinya dalam wilayah makna.
Kesimpulannya adalah bahwa analisa semiotik mengandung tiga aspek penting, yaitu (1) celah yang terbuka Antara tanda (symbol) dan pemikiran, atau Antara pembicaraan dan pandangan, karena kita selamanya membicarakan sesuatu yang tidak tampak, atau kita menggunakan symbol yang tidak menunjukan identitas yang lain. (2) bahwa tidak mungkin ada sebuah pemokiran tanpa suatu system bahasa dan system tanda (symbol). Untuk itu, kosa kata menciptakan sesuatu dengan makna tertentu. (3) bahwa tidak ada pemkiran tanpa gambaran-gambaran dan analogi-analogi, atau tidak ada pemikiran tanpa aspek imajinasi-simbolik.

B.     Beragam Metode dan Komentar
Diantara beragam tema yang berkembang dalam perbincangan dan wacana kita adalah tema tentang penggunan rasio. Ada pernyataan bahwa kita belum menggunakan rasio kita sebagimana mestinya, atau bahwa seseorang belum mempergunakan rasio sebaiknya mungkin, atau ungkapan lain yang menyatakan bahwa seseorang menyatakan sesuatu tanpa menggunakan rasionya.
Kenyataannya, ketika kita berkata bahwa kita tidak mampu mempergunakan rasio dengan baik, maka siapakah yang dimaksud dengan kita pada pernyataan tersebut? Atau dengan kalimat yang lebih jelas, aspek apakah yang mencerminkan kelebihan rasio seseorang? Apakah aspek tersebut adalah sesuatu diluar rasio atau rasio lain yang lebih tinggi dan senantiasa kita jadikan pedoman? Apabila aspek tersebut berada diluar rasio, maka apakah sesuatu tersebut? Apakah ia merupakan dzat yang menjadi sumber segala inspirasi, pengetahuan dan perbuatan? Kalau benar demikian. Maka rasio adalah petunjuk jalan dan sumber kebijaksanaan.
Kenyataannya, apakah kita menggunakan rasio dan mengikatnya, atau rasio kitalah yang mengarahkan dan mengikat kita, baik disadari atau tidak. Pada ahirnya, kita kembali pada proses kreativitas itu sendiri atau ungkapan pertanyaan tentang hubungan sebuah subjek dengan rasionya. Apakah manusia itu menguasai apa yang dipikirkan dan dipahaminya? Atau apakah ia hanyalah instrument bagi pemikirannya sendiri? Atau apakah ia dan pemikirannya saling menguasai satu sama lain? Atau apakah ada persoalan lain? Kita sebenarnya terjebak pada banyak persoalan yang tidak akan pernah berhenti tentang hubungan kita dengan rasio kita, atau lebih tepatnya adalah hubungan rasio dengan dirinya sendiri. Untuk itu, maka orang-orang yang mempergunakan ungkapan “penggunaan rasio” seyogyanya menerangkan metodologi penggunaan rasio seseorang oleh pemiliknya sendiri.
Orang-orang tersebut menipu kita dan menipu diri mereka sendiri di suatu waktu, karena mereka menggunakan rasio untuk sesuatu yang mereka akui dalam melakukan penilaian dengan standar rasio kita dan meluruskannya. Namun sesungguhnya, mereka menggunkan pemikiran terhadap apa yang mereka inginkan untuk diungkap dengan metode pemikiran mereka bagi orang lain.

FILSAFAT DAN PEMBENTUKANNYA

A.    Para Filososf Sebagai Spiritualis
Sekelompok teolog selalu merasa gembira ketika menemukan pendapat yang mengecam paham materialisme dan mendukung paham spiritualisme, khusunya jika pendapat tersebut bersal dari barat. Mereka menganggapnya sebagai kemenangan paham mereka, sekaligus sebagai ilustrasi “pertobatan” barat dan paham materialisme yang mereka anggap sebagai pemikul tanggungjawab atas kerisis dan bencana yang dialami umat manusia dewasa ini. Maksud dari kata “mereka” disini adalah para intelektual, peneliti dan juru dakwah kontemporer yang memetakan dirinya kedalam ideology islam. Mereka menyakini bahwa konsepsi islam tentang alam adalah konsepsi spiritual yang ideal. Saya menyebutnya konsepsi islam, bukan konsepsi alquran, karena alquran jauh lebih luas dari pada apapun yang dapat dipahami oleh interpretasi tertentu, jauh melebihi apapun yang dapat dicakup oleh aliran tertentu serta tidak dapat dibandingkan dengan propaganda apapun yang disadarkan kepadanya atau yang mengklaim monopoli interpretasi dan pemahaman terhadapnya.
Jika kosepsi para islamisis tentang islam tidak sesuai, disatu sisi, dengan pandangan alquran, maka ia juga tidak sesuai, disisi lain, dengan pandangan umat islam kebanyakan terhadap agamanya. Hal itu karena konsepsi para intelektual, spesialis, dan juru dakwah berbeda dengan konsepsi umat secara umum, seperti perbedaan Antara para ahli dan mayoritas manusia, atau perbedaan Antara rasio teoritis dan indra praktis.
Secara singkat, filosof berpendapat bahwa alam duniawi adalah alam yang skunder, tidak memadai, dan suatu saat akan rusak. Sebaliknya mereka memandang wujud yang hakiki adalah alam rasio dan ruh yang murni dengan kebahagiaan tertinggi yang terletak pada kenikmatan ruhani yang lepas sama sekali dari potensi-potensi jasmani dan peralatan-peralatan indrawi.
B.     Siapakah Filosof Itu?
Orang yang berfikir dan berteori tentang sebuah persoalan tentu saja tidak dengan serta merta dapat dianggap filosof. Manusia sebagai sosok yang rasional tidak pernah berhenti berfikir. Ia akan menemukan pendapat pendapat otentik, menghasilkan makna-makna yang tinggi, menyusun pemikiran-pemikiran yang bernilai, serta mendirikan cabng-cabang keilmuan yang rapi. Pada ahirnya, tidak ada seorangpun yang dapat lepas dari akal dan pandangannya sendiri.
Namun seorang filosof tidak berenti disana. Ia tidak membatasi pandangannya pada upaya mengambil kesimpulan dibidang tertentu, merintis ilmu pengetahuan baru, atau menyingkap aturan-aturan dari fenomena alam. Nalar memang seringkali memerlukan penelitian, pengambilan kesimpulan, pengujian, atau bahkan kritik dan penentangan persis disanalah terletak inti kegiatan filsafat. Karakteristik nalar filosofis adalah keraguan terhadap intuisi, pengujian terhadap aksioma, dan pembebasan dari bias-bias ideology.
Disisi lain, nalar filosofis juga menguji aksioma aksiomanya sendiri, menentang pernyataan-pernyataannnya atau bahkan menghakimi dirinya sendiri. Tapi satu hal yang perlu dicatat, ia tidak melakukannya atas nama otoritas lain atau untuk mengakui adanya hal yang tidak dapat di perdebatkan.
Secara singkat, filososf adalah orang yang menggali sampai ke dasar dan “menentukan perspektif baru dalam berfikir”. Ia juga adalah sosok yang menyimpulkan prinsip-prinsip pengetahuan dan memberikan dasar bagi aktifitas dan kehidupan social yang beradaban serta melontarkan pernyataan baru tentang eksistensi. Diatas semua itu, ia merupkan orang yang “selalu risau dengan pertanyaan”, yang selalu ragu dan tidak pernah menganggap ada jawaban yang telah tersedia bagi “pertanyaan tentang pertanyaan”, yaitu pertanyaan tentang hakikat eksistensi: asal, substansi, devinisi, makna dan pemahamannya.
Filsafat memang sering kali merupakan kegilaan, ateisme, dan kesesatan bila pandangan dari nalar keimanan, aqidah, atau ideology yang religious maupun yang skuler, ilmiah atau tidak samawi atau ardli. Namun itu tetap tidak akan mengubah kenyataan sedikitpun.

C.    Socrates : Sosok Yang Selalu Hadir
Masih adakah ruang untuk membahas mengenai socrates?
Tidak diragikan lagi bahwa sokrates adalah guru besar dari seluruh guru pemikiran. Ia bahkan adalah guru pertama. Ia adalah orang pertama yang mencari pengetahuan melalui defenisi (al-hadd) dan analogi (al-qiyas), seperti diungkapkan Aristoteles. Definisi dan analogi adalah dua bidang logika dan dua jenis pengetahuan. Kalau bukan karena Socrates, niscaya tidak ada plato, karena ia secara garis besar adalah pengengembang gagasannya.
Kisidis melalui penelitiannya tentang Socrates dengan membahas teka-teki pemikiran maupun kehidupannya. Dalam pemikiran, Socrates menimbulkan teka-teki ketika ia berkata, “cari tahu tentang dirimu terlebih dahulu”. Pengetahuan manusia tentang dirinya, menurut Socrates, dasar segala pengetahuan, bahkan merupakan tujuan ilmu dan inti kebijaksanaan. Karena itu, disepanjang hidupnya, Socrates tidak pernah berhenti mengajar sekaligus belajar. Ia juga pernah mengatakan: “semua hal yang kuketahui adalah bahwa aku tetap tidak mengetahi apa-apa”.
Namun teka-teki Socrates tidaklah terbatas pada pemikirannya, melaikan secara khusus juga dalam hidupnya. Socrates adalah seorang filosof yang bijaksana, bahkan merupakan contoh manusia sempurna. Kebujaksanaan bukanlah soal pikiran semata. Kebijaksanaan adalah ilmu dan amal. Kesempurnaan terhadap pada diri yang mengetahui ilmu yang benar dan mengaplikasikannya dalam amal yang juga benar. Ilmu tanpa amal tentu saja tidak memadai, sebagaimana amal tanpa ilmu adalah mustahil.
Mengapa Socrates pasrah menerima hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya padahal ia berpendapat bahwa hukuman itu telah memasung hak-haknya?
Kematian Socrates kadang dianggap sebagai sekedar upaya untuk menyempurnakan mitos kepeloporannya. Ada pula yang menganggapnaya sebagai hal penting bagi pengembangan nalar dan filsafat, sebagaimana Allah merupkan dzat yang wajib ada dengan sendirinya bagi siapapun yang menganggap alam ini tidak sia-sia.
Interpretasi apapun yang diberikan padanya harus diakui bahwa kematian Socrates adalah keajaiban tersendiri. Kematiannya menjadi bukti bahwa siapapun yang mati menghadapi kenyataan adalah syahid secara pasti. Dia memilih mati dari pada harus bungkam dari mengutarakan kebenaran. Kematian baginya adalah kesempurnaan dan puncak penyaksian. Kematian Socrates adalah sebagai dari rahasia-rahasia kepeloporan yang senantiasa dipikirkan dan di interpretasikan oleh pikiran. Karena itu, Socrates tidak pernah hilang. Ia terus hadir sebagai pembaharu. Socrates adalah sosok yang terus hadir dan hidup.

KRITIK ATAS KEBENARAN
A.    Arabisasi dan Westernisasi
Seperti yang dinyatakan orang-orang, sekarang adalah zaman ala Barat dan Amerika karena peradaban merekalah yang paling unggul saat ini sebagai orang arab, kita telah melewati suatu masa kemuliaan dan keemasan. Saat itu, kita berada pada posisi paling tinggi diantara seluruh manusia, setelah pristiwa turunnya al-quran dan penyebarannya dalam rangka membuka dunia dan memerdekakan sebgian besar Negara dan kerajaan yang terdapat didalamnya.
Namun dalam persoalan tersebut, ada segi lain yang senantiasa mengiringnya, yaitu pemutar-balikan ayat dan tipuan mata bagi subyeknya sendiri. Arabisasi alam semesta yang pada awalnya terjadi secara kreatif, kemudian berubah menjadi peniruan dan pengulangan.
Tidak ada yang mengherankan, bahwa manusia pada awalnya adalah subyek kreatif yang mampu menafsirkan sesuatu yang ghaib dengan hasil pandangan indrawinya, membaca sesuatu yang lama dari kaca mata kekinian dan merubah sesuatu yang khayal menjadi kenyataan. Saat itu, rasio adalah subyek penilai dan bukan obyek yang dinilai, sesuai dengan kemampuannya dalam menciptakan pemahaman baru tentang tuhan, atau menggali makna dari balik suatu teks serta menundukannya dalam wilayah dan strategi pemikirannya.
Padahal yang terjadi adalah bahwa nilai-nilai lama telah mempergunakan kekuatannya. Sejak lama, ia merekonstruksi atau kembali menjadi factor-faktor penggerak, referensi yang benar dan ukuran yang tepat. Bersamaan dengan hal itu, kita sendiri sampai saat ini belum mampu untuk memproduksi nilai-nilai baru atau meletakkan dasar-dasar acuan yang modern. Maka untuk itu, sebagai pengganti dari apa yang menjadi mukjizat dan ciptaan kita didunia ini, kita masih memperhatikan nilai-nilai nenek moyang yang mengikuti jejak para generasi terdahulu.
Kesimpulan dari paparan ini adalah, bahwa gambaran dan nilai-nilai arabisasi alam semesta yang sampai saat ini masih bersemayam diruang khayal bangsa arab merupakan konsep pencerahan dan penerapan rasionalisasi yang tampak dalam temeuan-temuan ilmiah. Ia merupakan ekspresi subyektif dengan perwujudan serta kepemilikan hak dan penemuan eksistensi diri. Sedangkan wacana arab kontemporer tenang subyektivitas dan esensi sangat jauh dari penemuan, pengungkapan dan perwujudan akibat ideology yang menguasainya yang telah meneggelamkannya dalam kecintaan pada diri sendiri.
B.     Mukmin dan Ateis
Seorang mumin tidak dapat melepaskan sikap kebertuhanan dari paham ateisme, walaupun ia mengaku mempercayai Tuhan dan mengingkari paham ateisme.
Pandangan ini menutupi materi yang dibicarakan secara substansial karena disana terdapat suatu yang selamanya tidak dapat dilihat oleh pandangan manusia, sebagaimana ujaran yang kita kenal secara umum bahwa kita bisa saja membicarakan sesuatu yang tidak kita lihat dan melihat sesuatu yang tidak kita bicarakan. Sebuah wacana menutupi sesuatu sejauh apa yang yang diungkapnya. Ia menyatakan suatu subtansi sekaligus menyembunyikan bagian lainnya. Sementara identitas adalah sesuatu yang tampak, dapat diketahui dan ditangkap, tidak tertutup oleh kebodohan, dugaan bahkan misteri.
Seseorang tidak boleh mengadopsi kata-kata seorang mukmin tentang konsep keimanan dan ateisme. Setiap orang mengekspresikan identitas dan eksistensinya dengan bahasa tertentu bertolak dari suatu sumber tertentu, atau merujuk pada warisan dan tradisi tertentu. Setiap orang dengan sendirinya akan berafiliasi kepada suatu golongan tertentu dan merasa terikat dengannya tanpa harus membutuhkan kehadiran orang lain. Singkatnya, setiap orang menjadikan bahasa dan karya tulisnya sebagai media ekspresi dan bersandar pada jasadnya sendiri. Penyandaran pada jasad sendiri itu bermakna bahwa setiap individu dari kita menjauhkan diri dari kebutuhan-kebutuhannya, menyembah nafsunya dan menampakkan kekuatannya.
Seorang Ateis murni akan mengekspresikan kemanusiannya hanya menemui sedikit kesulitan, jikalau dalam dirinya tidak terdapat persinggungan aktivitas dengan orang lain. Kadangkala, ia mencuri untuk makan atau memenuhi kebutuhannya. Kadangkala, ia juga membunuh dalam kemarahannya yang berlebihan. Akan tetapi, ia tidak mungkin membunuh Tuhan atau menghindari dari segala jenis kepercayaan.
Sebenarnya, seorang Ateis murni – karena sedikitnya keberadaan ilmuan murni – hanyalah pencari kebenaran yang tidak termasuk penjaga akidah (kepercayaan). Seorang pencuri kebenaran tidak akan pernah sampi kepadanya dari kebesaran cinta dan ketinggian semangatnya kepada kebenaran itu. Dari sinilah, kecendrungannya kearah kerusakan dan ketiadaan komitmen menetas.
Sementara orang-orang yang memperlukan kebenaran dari sudut pandang madzhab dan school of thought-nya, atau dalam bentuk tunggal, simplifikatif dan dogmatis, tentu saja akan mengingkarinya sesuatu dengan apa yang menjadi fanatisme dan eksklusivitasnya serta menutup-nutupinya sesuai dengan tujuan mereka untuk merubah manusia menjadi alat dan sarana bagi aturan-aturan akidah dan ideology mereka. Disinilah letak urgensi posisi para juru dakwah dan ahli akidah dalam semua jenis akidah diberbagai wilayah dunia, baik dari kalangan teolog maupun skuler – karena mereka bertolak dari satu titik, yakni titik agama, nasionalisme, stratifikasi social atau geografis.
Memang, Nietzsche merupakan cikal bakal ateisme murni. Kehidupan dan pemikirannya (kehidupan dalam teori Nietzsche adalah berfikir, karena pemikiran adalah kekuatan) berada kekhatiran yang abadi, penerobosan yang terus menerus dan penelitian yang tidak mengenal titik akhir atas tingkatan-tingkatan pemikiran dan geografi teks. Ia menjelaskan kepada kita bahwa wacana kebenaran disusun dari suatu system kepercayaan, permainan kekuatan dan serangkai analogi dan metafora.
Kegilaan Nietzsche merupakan kesaksian dirinya, bahwa sikap ateismenya itu belum bisa terpadu dengan alam semesta ini dan belum mungkin disusun didalamnya. Kalau tidak, maka ia akan terpotong-potong bersama dirinya dan segala yang tersembunyi dan tertutup. Kadangkala, ia menjadi sangat teologis dan lebih memasuki dunia malaikat dari pada para teolog itu sendiri. Hal itu karena perjalanan para penyembah Tuhan didunia ini menuju kearah kesatuan dan bersifat tipikal, mabuk dan tidak sadar, tersembunyi dan misterius, tertelan oleh racun dan sesuatu yang lebih sulit lagi. Batas ahir mereka adalah berpadu dengan alam semesta dan menyususn hasil ciptaannya, duduk bahagia dalam posisi mereka, dominan atas wilayah yang mereka kuasai, tinggal dalam otoritas mereka, memiliki ksatuan yang kuat dan tentran dalam kekuatan mereka.

LIBERALISME DAN DEMOKRASI
A.    Penegakkan Liberalisme
Ketika membicarakan tentang liberalism, seseorang tidak mungkin terminology yang berlaku pada abad ke-18M, atau pada tahun 50-an. Dalam konsep liberaslisme yang mengandung keseimbangan Antara pemikiran dan metodologi pemberlakuannya, aspek terpenting adalah potensi pemikiran itu sendiri, sehingga didalam benak kita tidak tercampur-aduk dengan ungkapan-ungkapan khusus yangakan membelenggu metodologi penelitian tertentu. Di dalamnya, ekspresi kebebasan tidak kembali bersandar sepenuhnya pada salah satu aliran pemikiran tertentu, termasuk pemikiran tentang kebebasan itu sendiri. Ia juga, tidak kembali terikat sepenuhnya pada konsep-konsep rasionalisme dan demokrasi , karena yang terpenting disini  adalah metodologi pemberlakuan kita terhadap aliran pemikiran tersebut, seperti bagaimana kita mengambil manfaat dan mempergunakannya.
Libanon – tidak digunakan lagi – merupakan sebuah Negara yang menampakkan liberalism menurut metodenya sendiri sesuai dengan struktut sosialnya yang primordial. Hal tersebut tampak dalam system ekonominya yang bebas dan system hokum yang dibangun berdasarkan beragam sumber hokum. Ia juga tampak dalam bidang pemikiran yang terbuka dengan beragam referensi budaya, berbagai orientasi pemikiran dan bermacam-macam model perilaku.
Tidaklah aneh kalau saat ini libanon telah merekonstruksi liberalismenya yang tercermin dari usaha menyelamatkan penduduknya yang baru saja mrekonstruksi subyektivitasnya. Hal tersebut dibuktikan dengan keterbukaan antar kelompok dan wilayah, yakni keterbukaan yang memberikan kontribusi pemulihan kembali hubungan yang terputus dikalangan mereka serta pada perluasan wilayah pengetahuan serta saling memberi dan menerima pada generasi baru yang selama ini di[engaruhi oleh wacana mobilisasi, peperangan, fanatisme serta permusuhan.
Karakter khusus liberalism dilibanon adalah primordialisme (fanatisme kelompok) yang diekspresikan dalam rangka keseimbangan kelompok. Itulah kelebihan yang menjadi antonym anggapan orang selama ini. Model komunikasi yang dibangun oleh seluruh kelompok yang ada di Libanon ini merupakan kecendrungan masyarakat Libanon untuk mengekspresikan kebebasannya dalam berpendapat, mengatur dan mendirikan partai-partai politik. Artinya, kelompok itu tidak dngan sendirinya bertentangan dengan liberalism, sebagaimana juga masyarakat industry skuler yang bukan merupakan persyaratan penting bagi oprasionalisasi liberalism seperti yang dibayangkan orang selama ini.
Liberalisme memiliki batasan-batasan. Ketika sesuatu melampui batas-batasnya, maka ia akan berubah menjadi kebalikannya. Untuk itu, cara memandang liberalism tidak dapat dilakukan dengan cara teologis sebagai sebuah tujuan yang paling tinggi Yng menundukkan seluruh aktivitas yang ada.
Liberalism bukanlah “surga”. Ia memiliki akibat dan elemen yang membahayakan. Marabahaya terbesarnya adalah ketika aktivitas liberalism itu dikuasai oleh satu sentral, satu orientasi, satu elemen atau satu aspek. Kenyataan inilah yang terjadi sampai sekarang. Liberalism bukan jalan terahir serta tidak dapat diposisiskan seperti itu karena jalan terahir merupakan konsep yang bertentangan dengan kebebasan itu sendiri. Liberalism tidak memiliki keterbatasan jika tidak diposisikan sebagai jalan terahir yanga akan ditempuh.
Liberalism tidk akan terwujud kecuali jika seseorang berusaha untuk menciptakan liberalism itu secara khusus. Ia harus memiliki kemampuan untuk breaksi dan memproduksi sesuatu, yang dengan peran itu ia menciptakan sumber publikasi dan sentra ekspresi budaya.
Kritik Choamsky terhadap demokrasi yang terjadi di negaranya memang mendapatkan tanggapan dari kalangan budayawan arab yang mencoba merubahnya dengan imprealisme yang menjadi pandangan dunia baru sebagai tujuan yang menyertai situasi kelemahan, ketidakmampuan, kemerosotan dan kemunduran yang dialami oleh masyarakat arab. Kririk ini menjadi perantara, agar mereka bergabung kepada kedudukan mereka dan tenggelam dalam perasangka mereka. Tuntutannay saat itu adalah bahwa orang yang dipinggirkan membentuk dirinya sendiri menjadi salah satu diantara sekian banyak pusat publikasi, dominasi dan pengaruh.
Karean itu, kita tidak boleh mendasarkan pemikiran kita pada satu prinsip bahwa orang-orang selain kita memikul tanggung jawabnaya sendiri atas segala hal yang terjadi didunia ini, sehingga kita tidak menghakimi diri kita sendiri dengan segala keterbatasannya. Marilah kita memperlihakan potensi kita dan menegakkan liberaisme kita.
KRITIK DAN DIALOG
A.    Kebutaan Ideologi
Prof. Karim Marwah, seseorang pengamat partai komunis Libanon, menyatakan jawabannya seputar pertanyaan tentang sejarah komunisme setelah keruntuhan dan kehancuran Uni Soviet. Dia menyatakan, “komunisme sebagai suatu system nilai dan idealism belum dan tidak akan mati. Ia menghususkan diri pada pembahasan tentang kebebasan, pengetahuan, kemajuan dan keadilan social. Wilayahnya mencakup seluruh ajaran agama langit dan bumi beserta seluruh system kepercayaan, teori-teori social dan filsafat. Yang hancur hanyalah bentuk yang teraba untuk mentransfer system nilai dan idealism tersebut dari wilayah konseptual kewilayah ralitas”.
Memang dalam setiap ideology atau aliran tertentu terdapat suatu aspek yang abadi dan berkembang secara terus menerus dan aspek lain yang mati dan tercerai-berai. Yang abadi adalah idealism meta-realitas yang berada diluar sejarah sebagai nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keadilan dan kebebasan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa marxisme juga memiliki aspek idealism. Sebagaimana juga dlam setiap ideology, ia juga memiliki karakter spiritualis, bahkan teologis. Padahal marxisme dan sebagian dari komunisme telah gagal karena alasan tersebut. Ia gagal akibat menjadi spiritualis, teologis dan idealis – walapun kegagalan itu lahir dan berkembang secara realistis dan historis. Para pengikut marxisme sama pendapatnya dalam posisi ini, atau dalam tipuan pemikiran ini, dengan para juru dakwah islam yang memasukkan materi pemisahan Antara islam sebagai sebuah risalah, kepercayaan dan system nilai dengan islam sebagai Negara yang diperintah dengan namanya dalam materi dakwahnya, atau antar islam trasanden, ideal dan tegak diatas identitasnya dengan bentuk-bentuk aplikasinya. Para juru dakwah islam merasa sedih atas kemunduran dunia islam atau kegagalan syari’ah islam, serta bukan tentang identitas islam itu sendiri, bahkan terhadap usaha-usaha aplikasinya dalam realitas dan sejarah.
Apapun yang terjadi, posisi komunisme, seperti yang dipaparkan oleh prof. Marwah, menunjukan kepada kita hasil pemikiran budaya arab yang memberikan keahlian dalam memperbaiki sesuatu dan pengaruh sikap seseorang dengan kepuasan-kepuasan tertentu. Budaya ini merupakan perubahan pelaksanakan penelitian terhadap metode yang dipergunakan dan kritik terhadap ideologinya, dengan dasar-dasar dan pondasinya, guan merekonstruksi realitas dengan bahasa baru dan rasionalisme produktif. Teks tentang marx tersusun atas sesuatu yang tidak diungkapkannya. Ia mengebadikan sesuatu yang memiliki jarak dengan subyeknya dan dengan sesuatu yang harus dibangunnya.
Marx berfikir dan menghasilkan beragam pengetahuan dalam wilayah realitas pemikirannya. Sebagai orang pemikir, ia berfikir dengan bebas dab fleksibel. Ia melakukan perubahan, pergantian, pengembangan dan pembaharuan, seperti yang terjadi pada setiap orang yang merintis sesuatu. Sedangkan pengikutnya adalah orang-orang yang lemah untuk berfikir produktif, sesuai dengan keterbelengguan mereka dalam system ajaran dan pengetahuan mereka.
Orang-orang buta dalam ideology marxisme adalah mereka yang menafsirkan seluruh kegagalan yang mereka alami dan kehancuran yang mereka perbuat sendiri. Ia merupakan pemisah dari semua spirit yang ada dimuka bumi ini. Ia merupakan penghancuran maka yang terjadi penyebab kelahiran spirit itu.

TEORI-TEORI DIALOG
A.    Islam Pluralis
Saya memiliki pandangan khusus dalam memaknai islam. Saya tidak sepakat terhadap pendapat yang menyatakan islam itu satu. Pendapat saya ini berbeda dengan pandangan banyak aliran, mazhab dan masyarakat, yang juga didukung oleh perbedaan bahasa, bangsa dan waktu. Maka pandangan-pandangan tersebut menjadi tidak dibutuhkan bagi kaum muslimin sendiri telah berbeda diantara mereka sejak wafatnya Rosulullah, pelekat dasar-dasar hokum islam. Sejak saat itu, mereka mengekspresikan perbedaan mereka dalam menafsirkan teks dan metakwilkan wacana serta memperdebatkan pembacaan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan penciptaan pertama. Inilah yang menjadikan islam berbeda dengan substansinya berdasarkan perbedaan pandangan terhadapnya, ekspresi yang mengungkapkannya dan aspek-aspek pembentukannya.
Orang-orang yang mengakui keberadaan hakikat ini atau yang berpendapat bahwa islam berperan dalam pembentukan keberagaman dan pluralitas serta situasi yang mendukung terciptanya kreativitas dan temuan baru, dapat saja berdialog dengan umat islam dan seluruh manusia. Sedangkan orang-orang yang menyatakan bahwa islam pada hakikatnya adalah satu, berdiri dalam esensinya, beragam dala satu jiwa, jauh dari segala perubahan dan perbedaan, serta terisolasi dari kreativitas dan penyimpangan, pada dasarnya mereka adalah orang yang memiliki satu pendapat yang sama sekali berbeda dengan islam yang niscaya mengalami beberapa berbedaan akibat perbedaan penganutnya dalam menjalankan ajarannya dengan beragam cara yang berbeda, bahkan kadangkala saling bertentangan.

Orang-orang yang menjunjung prinsip kesempurnaan dan kekosongan esensi dari segala perbedaan dan perubahan adalah orang-orang yang paling tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari sebuah dialog serta tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain. Mereka hanya menyebarkan fitnah dan menumbuhkan kesengsaraan belaka. Singkatnya, pengakuan perbedaan diri kita dengan orang lain adalah cara untuk menumbuhkan rasa saling pengertian dengannya. Sebaliknya, ketika tidak mengakui adanya perbedaan itu maka berarti tidak aka nada kemungkinan untuk berdialog dan saling mengerti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar