Rabu, 16 Desember 2015

PEMIKIRAN PEMBAHARUAN HASAN HANAFI

MAKALAH
“GERAKAN PEMIKIRAN PEMBAHARUAN HASAN HANAFI”
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pemikiran Modern Dalam Islam (PMDI)
Oleh :
Sahabat Ujang
1134030061







UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH
TAHUN 2015                        

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Abad Ke 20 sekarang ini merupakan abad baru dalam sejarah dengan benturan-benturan yang kritis dan cepat merata ke segenap ujung dan pojok dunia. Benturan-benturan itu adalah produk akal manusia dan aktivitasnya yang kreatif, yang dengan itu timbul transformasi sosial dan kultural yang akibat-akibatnya juga terasa dalam kehidupan agama.
Dalam perkembangannya Islam banyak sekali mengalami perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan yang terjadi. Karena adanya ketidak relevannya antara masa klasik dan masa berikutnya. Sehingga terjadi suatu pembaharuan pemikiran yang terjadi, salah satunya adalah Hasan Hanafi yang merupakan seorang tokoh pembaharuan.
Berkaitan dengan hal tersebut yang perlu dikaji bila membicarakan mengenai pembaharuan pemikiran seorang tokoh maka yang perlu di perhatikan adalah kondisi lingkungan dimana dia dibesarkan. Karena kondisi lingkungan itulah yang pada umumnya melatar belakangi munculnya gagasan-gagasannya itu. Misalnya Ibn Khaldun, dalam karya monumentalnya  Muqaddimah, yang menegaskan tentang fase-fase terbentuknya fisik dan mental amnusia oleh faktor-faktor geografis dan cuaca mereka berada. Selain cuaca, tradisi dimana mereka berada juga mempengaruhi.
Dari apa yang dikatakan oleh Ibn Khaldun diatas , maka dapat kita jadikan pijakan untuk mengetengahkan sosok, sosiokultural dan politik yang melatarbelakangi ide-ide proyek Hasan Hanafi merupakan tokoh penyeru “Teologi pembebasan” dan Transformasi, dengan proyeknya Al-Yasar Al-Islami, Revitalitas Turats. Hingga oksidentalisme, yang lahir sebagai refleksi dari kekacauan suasana sosial-politik dan intelektual di dunia Arab pada saat itu, yang sangat penting untuk dikaji. Banyak pengamat Hasan Hanafi mengatakan terutama Al-Yasar Al-Islami, : Paradigma Islam Radikal, yang mengandung butir-butir besar, orisinal, radikal dan kontroversial, ini perlu bagi kita yang bergumul dalam mencari beberapa alterlnatif Islam yang selalu relevan dengan pembangunan pemikiran keislaman di Tanah air. Sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah "manifesto politik" yang berbau ideologis..
Jika Kiri Islam baru merupakan pokok-pokok pikiran yang belum memberikan rincian dari program pembaruannya, maka kemudian buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental.
Selain hal-hal diatas Hasan Hanafi juga seorang tokoh pemikir kontemporer yang dkenal cukup banyak merumuskan metodologis seputar hermeneutika Al-Qur‘an, yang juga akrab dengan problem konkret seperti: keterbelakangan, kemiskinan, buta huruf, penindasan hingga penjajahan multi dimensi. Dimana perbedaannya dengan rumusan lain adalah selain Hermeneutika Hanafi berangkat dari realitas “empiris” kemanusiaan, juga sampai pada perumusan untuk kepentingan transformasi sosial.
Lebih lanjut, Hermeneutika Hasan hanafi merupakan sebuah metode yang dilakukan melihat ketidak mampuan tafsir-tafsir klasik dalam memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah yang terjadi pada diri umat Islam, yang di harapkan menjadi solusi dalam penyelesaian dari masalah tersebut.
B.     Rumusan masala
1.      Apa yang melatar belakangi pemikiran pembaharuan Hasan Hanafi?
2.      Bagaimana riwayat hidup (biografi) Hasan Hanafi?
3.      Bagaimana gerak pemikiran dan pembaharuan yang dilakukan oleh Hasan Hanafi?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui dan memahami riwayat hidup (biografi) Hasan Hanafi.
2.      Untuk mengetahui dan memahami gerakan pemikiran dan pembaharuan yang dilakukan oleh Hasan Hanafi.
3.      Untuk mengetahui dan memahami karya-karya Hasan Hanafi.
                                                                          


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Hasan Hanafi
Hanafi lahir perkampungan di dekat masjid Al-azhar Kairo Mesir, pada tanggal 19 Februari 1935.  Dengan situasi politik saat itu yang di warnai politik sayap kiri dan sayap kanan, sayap kiri terdapat partai komunis sebagai pengaruh Soviet, dan disayap kanan terdapat Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hassan Albana. Kedua kelompok tersebut memiliki pemikiran yang saling bertolak belakang dan masing-masing meiliki pendukung setia baik dari kalangan Mahasiswa dan juga para intelektual Muda.
Situasi tersebut memiliki pengaruh terhadap kepribadian Hasan Hanafi. Ketika ia berumur 13 tahun misalnya ia mendaftarkan diri sebagai sukarelawan untuk dikirim ke Palestina namun karena Umurnya belum cukup usia sehingga ia tidak diterima. Namun hal tersebut tidak menyurutkan semangatnya, sehingga pada umur 16 tahun ia ikut perang gerilya melawan Inggris di terusan Suez.
Hanafi mengawali pendidikannya mulai tingkat dasar, dan melanjutkan ke madrasah Tsanawiyah Khalil Agha, Kairo. Sejak sekolah disinilah  Hanafi mulai tertarik dengan kegiata-kegiatan intelektual dengan mempelajari pemikiran sayyid Qutb tentang keadilan dan Islam, dan dengan teman-temannya ia mengikuti diskusi Ikhwan al-Muslimin. Dengan kegiatan tersebut ia terdorong untuk mendalami pemikiran agama, revolusi dan perubahan sosial, filsafat teori-teori sosial. Kemudian Hanafi mendalami filsafat di Universitas Kairo pada tahun 1952-1956. pada saat ini, Hanafi dihadapkan pada situasi yang sangat buruk, dimana terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dan gerakan revolusi. Saat itu Hanafi berada di pihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser. Peristiwa demi peristiwa inilah yang menjadikan Hanafi memutuskan untuk menjadi pemikir, pembaharu dan reformis.
Setelah menyelesaikan studi di Kairo tahun 1956, Hanafi melanjutkan studi di Universitas Sorbone, Perancis. Disana ia banyak menyerap Barat dan mengkonsentrasikan diri pada kajian pemikiran barat pra modern dan modern. Selain itu Hanafi banyak mempelajari tentang masalah-maslah yang sedang melanda umat muslim. Hanafi juga pernah belajar pada seorang pemikir Katolik, J. Gitton, tentang metodologi berfikir, pembaharuan dan sejarah filsafat. Ia juga belajar fenomenologi dari Paul Recoeur dan analisis kesadaran dari Husserl.
Setelah lulus Hanaffi mengembangkan karir keilmuannya di Mesir dan Negara-negara lain selain Mesir. Di Mesir ia memberikan kuliah dengan jabatan sebagai Lektor 1967, lalu menjadi lektor kepala 1973, dan professor filsafat di Fakultas Filsafat di Universitas Kairo. Selain di Mesir Hanafi juga aktif memberikan kuliah di Perancis, Belgia, Temple University Philadelpia Amerika Serikat, Universitas Kwait, Universitas Ves Maroko, serta menjadi guru besar tamu di Universitas Tokyo (1984-1985). Kemudian ia diangkat menjadi penasihat Program pada Universitas PBB di Jepang(11985-1987). Sepulang dari Jepang ia diberi jabatansebagai ketua Jurusan Filsafat di Universitas Kairo.
Ketika Mesir di bawah pemerintahan Gamal Abdul Nasser yang memiliki paham nasionalisme Arab (Nasserisme) paham ini bergaung juga Sudan, Yordania, dan kawasan selatan Yaman  yang pada saat itu masih di jajah Inggris.
Hanafi juga masuk dalam gerakan Ikhwan, dan mengoordinasi Persatuan  pelajar Mesir dibawah panji kebesaran Ikhwan, sebagai tandingan dari partai “ gerakan pembebasan”, partai Wafd, dan sosial Marxizme.
Ikhwan dan revolusi semakin menyatu setelah terjadi perundingan Maret antara Inggris dan gerakan Nasionalis Mesir tercapai. Ihkwan mengencam dan mengkritik atas keputusan perundingan tersebut, dan Hasan Hanafi bertugas sebagai pengedar selebaran kritikan tersebut. Dalam kariernya bersama ikhwan kurang sukses, hingga terjadi suatu perselisihan khususnya tentang pemisahan antara putra dan putri di sekolah. Meski dinilai tidak lulus karena ia berteman dengan kaum putri, namun ia tetap ditoleransi dan dijadikan agen untuk menggaetnya menjadi tentara sukarelawan. perselisihan yang terjadi kemudian menjadikan Hanafi menjadi bagian Islam Kiri.
Sebagai seorang intelektual dan pemikir Islam, Hanafi termasuk penulis yang produktif. Banyak buku yang dihasilkan darinya. Tidak kurang dari lima puluh buku yang telah ditulisnya, ada yang ber bahasa Arab, ada juga yang berbahasa Inggris dan Perancis. MIsalnya yang berbahasa Arab adalah Qadhaya al-Mu‘ashirat(1977), Turats wa al-Tajdid: Mauqifuna min al-Turats al-Qadim(1980),Al-Atsar al-Islami: Kitabat fi al-Nadhat al-Islamiyat(1981) dan Muqaddimatal-‘Ilm al-Istighrab(1991). Contoh karya Ilmiah yang berbahasa Perancis adalah Les Methodes d’Exegeses: Essai sur La Science des Fondaments de Comprehension “Ilmi Ushul Fiqh(1965) danL’Exegeses de La Penomenologue et son Application au Phenomene Religieux (1980), sedangkan contoh yang berbahasa Inggris adalah Religious Dialogue and Revolution(1977), Tradition and Civilization Renaissance (1981) dan Religion, Ideology, and Development (1988).
Berkaitan dengan karya-karya diatas, beberapa penulis yang mengkaji pemikiran Hasan Hanafi membagi menjadi tiga priode, priode pertama 1960-an, priode kedua 1970-an, priode ketiga 1980-an sampai 1990-an.
Pada priode pertama 1960-an pemikiran Hasan Hanafi dipengaruhi oleh faham-faham dominan yang berkembang di Mesir. Yaitu Nasionalistil-Sosialistik populistik yang juga dirumuskan sebagai ideology Pan Arabisme, dan juga dalam kondisi mesir yang kurang menguntungkan karena Mesir baru mengalami kekalahan dari Israel pada tahun 1967. Pada tahun 1956-1966, Hanafi sedang dalam masa belajar di Prancis dan banyak menekuni bidang Filsafat dan ilmu sosial dalam kaitannya hasrat dan usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam.
Awal periode 1970-an, Hasan Hanafi juga memberikan perhatian utamanya untuk mencari penyebab kekalahan umat Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967. Oleh karena itu, tulisan-tulisannya lebih bersifat populis. Di awal periode 1970-an, ia banyak menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al-Fikr al-Mu‘ashir, dan Mimbar al-Islam. Pada tahun 1976, tulisan-tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul Qadhaya Mu‘ashirat fi Fikrina al-Mu‘ashir.
Kemudian, pada tahun 1977, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu‘ashirat fi al Fikr al-Gharib. Buku kedua ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat untuk melihat bagaimana mereka memahami persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan pembaruan.
Sementara itu Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1981, memuat deskripsi dan analisis pembaruan terhadap ilmu-ilinu keIslaman klasik, seperti ushul fiqih, ilmu-ilmu ushuluddin, dan filsafat. Dimulai dengan pendekatan historis untuk melihat perkembangannya, Hanafi berbicara tentang upaya rekonstruksi atas ilmu-ilmu tersebut untuk disesuaikan dengari realitas kontemporer.
Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980-an sampai dengan awal 1990-an, dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa-masa sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi mulai menulis al-Turats wa al-Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan landasan teoretis yang memuat dasar-dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al-Yasar Al-lslami (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah "manifesto politik" yang berbau ideologis, sebagaimana telah saya kemukakan secara singkat di atas.
Sumbangan Intelektual yang paling utama Hanafi adalah proyek seumur hidup yang disebutnya al-Turats wa al-Tajdid (warisan dan pembaharuan). 
B.     Pembaharuan Pemikiran Hasan Hanafi
1.      Pemikiran Filsafat
Dalam pemikiran filsafat hingga menghasilkan ide-ide yang di lakukan Hasan Hanafi Bukanlah hal tidak mungkin dilakukan Melihat dari latar belakang pendidikannya. Hasan Hanafi memperoleh gelar kesarjanaan dari Fakultas Adab (satra Arab) Universitas Kairo Jurusan Filsafat. Yang kemudian dilanjutkan ke Univeersis Sorbonne Prancis, selama sepuluh tahun. Selama di Prancis yang merupakan tempat orientalis Barat, samapi ia menguasai Tradisi, pemikiran dan keilmuan Barat dengan cukup baik. Yang kemudian di kemukakan dalam artikelnya ia mengatakan “ Itulah Barat yang aku pelajari, aku kritik, aku cintai, dan akhirnya aku benci”.
Hanafi menitik beratkan kajiannya pada disiplin sosiologi agama dan paham-paham dominan dalam lingkungan sosiologi Amerika yang banyak dibawa dan dipengaruhi oleh imigran jerman. Serta juga mengisi kekurangannya dalam bidang politik dan ekonomi seperti paham sosialisme dan kapitalisme, juga sejarah Barat masa pertumbuhannya pasca  Eksplorasi Geografis, masa kegemilangannya pascaimperialisme dan kolonialisme, hingga masa kejatuhannya sebagaimana yang disinyalir oleh beberapa filosuf sejarah kontemporeryang bersifat pesimis terhadap masa depan peradaban Barat. Sehingga menjadikan pemikiran filsafat Hasan Hanafi banyak berlandaskan dan terpolesi ilmu-ilmu sosial.
Kemudian setelah ia mendapatkan gelar doktornya ia kembali ke Mesir, dan mengajar di Fakultas Sastra Jurusan Filsafat Universitas Kairo tahun 1971,  tentu hal tersebut menjadikan  semakin memantapkan dan mengembangkan keahliannya di bidang Filsafat.
Hanafi juga seorang pelopor pendirian organisasi Himpunan Filosof Mesir, Selain itu ia juga selalu mengikuti seminar tentang filsafat, baik Nasional maupun Internasional. Dan tidak sedikit para pemikir yang mengacungkan jempol untuknya.
2.      Kiri Islam (al-Yasar al-Islami)
Kiri Islam merupakan gerakan Revolusi kebangkitan umat islam, mendapat seksenya dari revolusi Iran. Kelanjutan dari al-Urwa al-Mutsqa dan al-Manar (Jamaluddin al-Afghani). Sertra tampil sebagai tokoh reformis terhadap tradisi intelektual islam klasik (sosok Muhammad Abduh). Ia merupakan penyempurnaan agenda modern Islam yang mengungkap realitas dan tendensi sosial politik. Yang berangkat dari perbedaan-perbedaan yang ada pada umat Islam, yaitu antara yang miskin dan yang kaya, yang kuat dan yang lemah, penindas dan yang tertindas, dan lain sebagainya.
Kiri Islam juga disebut shahwah al-Islam atau Yhaqdha al-Islam, Nahdlah Islamiah, al-Ba’ats al-Islami, dan al-wahyu al-Islami. Namun apabila shahwah al-Islam atau Yhaqdha al-Islam hanya merujuk kepada dunia kebangkitab Islam yang sekarang ini menjadi wacana utama dalam dunia Islam kecuali dunia Suni, maka kiri Islam mentransformasikan kesadaran individu menjadi kesadaran kolektif, dari kesadaran rasional menjadi keadaran revolusi realitas. Tetapi apabila Nahdlah Islamiah, al-Ba’ats al-Islami, dan al-wahyu al-Islami ini lebih menonjolkan revolusi internal daripada eksternal maka Kiri Islam akan menggerakkan keduanya secara seerentak.
Kiri Islam lahir karena ketidak berhasilan pembaharuan yang terjadi pada saat sekarang ini. Adapun latar belakang lahirnya disebabkan antara lain:
a.       Kooptasi kekuasaan terhadap Islam yang mana Islam hanya sekedar dijadikan ritus dan kepercayaan ukhrawi saja.
b.      Liberalisme yang pernah ada tidak lebih dari sekedar perpanjangan tangan Dunia Barat.
c.       Marxisme yang menentang kolonialisme dan berpresenti mewujudkan keadilan, ternyata tidak diikuti oleh pembebasan rakyat dan mengembangkan khazanah mereka sebagai kekuatan dalam merealisasikan kemerdekaan nasional.
d.      Nasionalisme revolusioner yang telah berhasil merubah secara radikal sistem politik tidak berlangsung lama.
Hal inilah yang menjadi stimulus sehingga menghasilkan adanya kiri Islam. Selain itu, kiri Islam tetap berpijak pada khazanah inteletual masa lampau, dengan menjadikan pandangan rasionalistik muktazillah, cara berfikir Imam Maliki, filsafat rasionalnya Ibn Rusyd atau al-Kindi, sebagai pijakan paradigmatik independen pemikiran keagamaan. Tetap memiliki keterkaitan ilmu-ilmu normatif tradisional murni, misalnuya tentang ulum al-Qur’an dengan mengutamakan dimensi realitas, al-hadis dengan mengutamakan matan teks, dan ilmu tafsir dengan mengutamakan tafsir perspektif (al-Syu‘uri).
Dalam Kiri Islam ada tiga agenda sebagai ideologi revolusioner bagi kebangkitan Islam, yakni pembaharuan tradisi Islam masa lampau, menantang peradaban Barat dengan mengusung oksidentalisme, dan melakukan analitis realitas Dunia Islam.
a.      Pembaharuan tradisi
Bagi hasan Hanafi tradisi merupakan starting point Sebagai tanggung jaawab peradaban. Sekarang ini kita berada dalam pergulatan tradisi sebagai bagian dari pergulatan sosial. Selama tradisi menghegemoni kita, maka tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali untuk melawannya untuk mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan. Dan dalam melakukan pembahaaruan tradisi adalah sarananya.
Tradisi menurut Hanafi dapat ditemukan dalam berbagai level. Pertama, tradisi itu dapat kita temukan dalam berbagai bentuk tulisan, buku, manuskrip, atau lainnya yang tersimpan di perpustakaan atau tempapt-tempat lain. Kedua, Tradisi itu dapat ditemukan juga dalam rupa konsep-konsep, pemikiran, dan ide-ide yang masih hidup dan hadir ditengah realitas. Kategori pertama lebih bersifat matrialistik sedangkan yang kedua lebih bersifat abstrak. Namun demikian keduaya tidak bisa dipisahkan dari realitas. Setiap tradisi mengusung semangat zamannya, mencerminkan tahap perjalanan sejarah, ia bisa berubah-ubah dan berganti-ganti , dan terbentuk sesuai generasi dan tantangan yanga ada pada zamannnya.
Tradisi itu dapat berupa Khazanah yang terpendam dalam jiwa masyarakat, yang secara sadar atau tidak mengarahkan dalam prilaku keseharian. Oleh karena itu bukan tidak mungkin tradisi masa lampau muncul lagi pada tradisi masa kini. Disinilah tradisi sebagai pandangan hidup. Yakni, bisa saja kita hidup dizaman modern namun masih tetap berpijak pada tradisi masa lampau.
Maka dalalm proyek pembaharuan tradisi Hasan Hanafi memberikan landasan teoritis dengan meletakkan model garis segitiga. Masyarakat Isalm berasa dalam tiga lingkup: tradisi masa lampau yang diwakili oleh tradisi Islam masa lampau dan ini disebut dengan Turats al-ana, tradisi barat disebut Turats al-akhar,dan realitas kekinian yang lansung dan sedang dihadapi oleh setiap individu dan kita berada ditengah.
Disaat yang sama ketiganya melingkupi kita. Tradisi masa lampau hadir dalam realitas kehidupan kekinian kita sebagai suatu warisan (al-mauruts) dan tradisi barat sebagai tamu (al-wafid). Ketiga hal tersebut disederhanakan oleh Hanafi menjadi pemikiran(al-fikr) dan realitas (al-waqi’) . kehadiran tradisi masa lampau sebagai tradisi diri sendiri dan barat sebagai tradisi orang lain di tengah kehidupan yang tidak dapat ditolak.
Baik al-akhar maupun al-ana tidak dapat menafikkan realitas kekinian. Usaha untuk membangun tradisi masa lampau yang juga memasuki tantangan realitas kekinian dapat membantu westernisasi dimana pada saat yang sama terjadi dalam realitas sekarang. Rekonstruksi tradisi masa lampau tidak akan tercapai kecuali harus mengerti tradisi lawannya (tradisi barat) demi kemaslahatan umum. Sementara mensikapi tradisi barat secara kritis dapat membantu dalam berpijak  pada tradisi itu sebdiri sebagai alternatif untuk melarikan diri darinya, dan mengeksplorasi kembali tradisi lama ketimbang harus meninggalkannya. Ketika tantangan kontemporer itu merupakan realitas kekinian yang didalamnya dibangun kedua tradisi secara bersamaan.
Oleh karena itu menurut Hasan Hanafi ada tiga cara yaitu: menganalisa pembentukan dan latar belakang tradisi, mengamati pembekuan dan pensakralan tradisi, dan mencermati bagaimana tradisi itu berlawanan dengan kemaslahatan umum.
Sementara itu Marxisme klasik mengalami kegagalan dengan  tidak mengakar dalam kesadaran masa yang buta huruf, kecuali bagi elit intelektual. Marxisme diterapkan tanpa adanya penyesuaian dengan keadaan dan kesadaran masyarakat Muslim. Seerta tidak adanya kajian mendalam tentang struktur masyarakat dan perubahan sosial, maka yang terjadi adalah pilihan coup d’etat dalam proses-proses sosial politik.
Ritualisme kesukuan atau Fundamentalisme Islam dalam kategori Barat gagal mempertahankan aturan-aturan politik Islam dan dalam mendirikan negara. Hal ini terjadi karena Islam di ubah menjadi sekedar ritual tanpa gagasan mengenai sistem sosial, ekonomi, dan politik yang komprehensif. Ritualisme hanya menjadin mistifikasi sebagai topeng ambisi politik yang bersifat kesukuan atas nama reformasi agama.  Seperti wahabisme yang pada kenyataannya, justru menimbulkan penindasan kemanusiaan.
Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradisional , Hanafi menegaskan perlu mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan sosial-politik yang terjadi. Teologi tradisional menurut Hanafi lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk  mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemuniannya.
Sebuah karya Hanafi “Dari Akidah ke Revolusi” dengan keadaan sosial masyarakat yang dalam kondisi memprihatinkan. Para penguasa meletakkan pada rakyat segala jenis nilai yang dapat menopang segala ambisi mereka untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Rakyat merasa bingung karena tingkah penguasa tersebut.
Sampai munculah kaum muslimin , yang dikagumi, pemberani, pejuang agung,  yang berjuang untuk mewujudkan tanggung jawab terhadap generasinya guna membantu para ulama dalam merealisasikan Nasihat-nasihatnya, mengemban tanggung jawab pengembangan akidah, serta implikasinya terhadap ilmu ilmiah, membimbing prilaku rakyat banyak dan merumuskan hubungan akidah dan kekuasaan. Dimana para penulis tidak lagi menjilat Sultan maupun penguasa politik. Namun mereka membela kepentingan rakyat dan melawan para penguasa.
Para ahli kalam klasik telah membela eksistensi Allah, dengan asumsi bahwa peersoalan ketuhanan merupakan hal yang rawan dan sering mendapat serangan. Sedang kita saat ini membela Bumi, karena Bumi merupakan tempat kita berpijak, tempat mengembangkan sayap, dan kekayaan alam yang melimpah. Allah dalam nash Al-Quran mengatakan bahwa Dia adalah “Tuhan langit dan Bumi” pemelihara langit dan bumi, “Dialah Tuhan yang di Langit dan di Bumi”.
Tauhid itu jihad dan penaklukan. Yang merupakan prinsip Islam yang Utama. Sungguh telah terkoyak-koyak kaum muslimin, Bumi mereka diduduki, kekayaaan alam dirampas, kehormatan mereka dinodai, wanita dan anak-anak mereka dibunuh, danputra-putra mereka disembelih. Dari akidah ke revolusi merupakan teologi yang berwatak pembaharuan. Rumusan dari akidah ke revolusi merupakan satu-satunya bahasan yang memuatkan perhatian kepada persoalan akidah dalam mengunbah kehidupan mannusia, wawasan, dan pola kehidupan, dalam rangka mengubah pranata sosial, politik dan mengembalikan sistem tauhid.
Fenomena kemusyrikan yang terjadi dalam kehidupan manusia cukup beragam tidak hanya menziarahi makam para wali dan Nabi, memakai jimat, memelihara sihir, mengambil berkah para kuncen dan lain-lain. adpula yang syirik dalam bidang muamalah yang terdiri dari masyarakat kaya dan miskin, para penguasa dan para penjilat penguasa, dimana kelompok manusia mengira kelompok lain berkuasa atas dirinya, sehingga berusaha memuji, menyanjung, sehingga merasa takut dan diam saja atas perlakuan yang dilakukan dengan mementingkan keselamatan dirinya.
Ketika Umat terdiri dari kelompok-kelompok dan berpartai-partai, dalam perjuangan Nasional mereka. Ssehingga mendorong perubahan sosial, khususnya diantara para pembela tradisi dan pendorong modernisasi. Antara golongan yang bercorak salaf dan golongan yang berorientasi sekular. Sebagai ganti saling mengkafirkan, meyerang kekuasaan, dan menjauhi satu sama lain.  Maka “dari Akidah ke Revolusi” ini berusaha mempertemukan berbagai sayap Umat. Yang memungkinkan khazanah kaum salaf dapat diarahkan untuk mencari solusi bagi penyelesaian problem utama bagi masyarakat modern. Sebagai mana dasar-dasar ide sekular seperti liberalisme, Sosialisme, dan Nasionalisme dapat diwujudkan dari warisan khazanah intelektual dan jiwa umat itu sendiri.
b.      Oksidentalisme : Menantang Barat
Oksidentalisme merupakan lanjutan dari realitas dan proyek kiri Islam sebagai proyek peradaban untuk menentang hegemoni Barat. Concern dari oksidentalisme adalah mempersoalkan kesentralan peradaban Barat; menggugat dualisme antara pusat dan pinggir pada tingkat peradaban; mengembalikan keseimbangan peradaban manusia, dengan menelanjangi secara kritis kesadaran Barat-Eropa; meluruskan konsep ke-Internasionalalisasian budaya Barat; dan pada akhirnya meng akhiri mitologi kebesaran peradaban Barat.
Menjadikan Barat sebagai subyek berarti menceburkan identitas diri sendiri kedalamnya, dan ini bahya karena akan tercabut dari akar kediriannya. Hanafi menyatakan kita perlu menjaga identitas dari kepunahan yang disebabkan oleh weternisasi. Untuk itu ada beberapa hal yang mesti diperhatikan: 
1.      Qur’an melarang untuk membebek pada oranglain, terutama non muslim, karena mereka adalah musuh Islam yang akan memberangus identitas diri kita
2.      Kita harus membuang budaya ikut-ikutan (taqlid)
3.      Kita harus meneladani kembali pemikiran Islam klasik yang mampu menciptakan budaya besar   tanpa kehilangan identitas.
4.      Kita harus tetap memegang dan mengembangkan budaya kritik, meskipun faktanya pemikiran Islam banyak diwarnai oleh budaya barat.
5.      Memperhatikan gerakan Isalm sekarang yang ada di Barat
6.      Meneladani sikap para pendahulu yang gigih mempertahankan diri dari serangan luar.
Praktek Oksidentalis pernah Terjadi pada abad pertengahan, pada saat itu Islam bertemu dengan peradaban Yunani Kuno yang dalam secarah dinamakan masa kodifikasi. Pada saat itu Islam menjadi subyek untuk mengkaji peradaban Yunani. Menurut proses berlangsungnya secara gradual lewat:
1.      Penerjemahan yaitu dengan memperhatikan bobot muatan makna daripada lafadz untuk di trasfer kedalam bahasa Arab.
2.      Pensyarahan yaitu dengan memperhatikan objek untuk dijelaskan struktur kandungan lafsdz dan makna secara beragam.
3.      Rangkuman yaitu dengan mengambil inti pemikiran tanpa mengurangi sedikitpun.
4.      Menyusun kembali peradaban al-wafid (peradaban tamu) dengan menjelaskan dan menyempurnakannya.
5.      Menyusun objek-objek peradaban al-wafid  dengan mendialogkan pada peradaban yang dimiliki
6.      Melakukan kritik terhadap budaya al-wafid dengan meletakkan posisi dan mengembalikan pada lingkungan
7.       Menolak teks al-wafid dengan mempertanyakannya.
Menurut Hasan Hanafi hasil yang ingin dicapai dari Oksidentalisme adalah menguasai kesadaran Barat-Eropa sebagai realitas yang inhistoris antara lain: mengembalikan pada batas kealamiahannya dan mengakhiri perang peradaban serta mengembalikan filsafat Eropa pada tempatnya; mengeksplorasi genuine budaya lokal dari setiap peradaban masyarakat; melapangkan kreatifitas diri masyarakat dan membebaskan dari tipuan Nalar; melapangkan peoses kreatifitas efektif untik mengurangi budaya konsumtif sehingga mampu menguasai yang lain; menulis kembali sejarah peradaban dunia secara seimbang; memulai babak baru filsafat sejarah dengan berangkat dari timur; mengakhiri orientalisme  dan menjadikan sebagai objek; menjadikan oksidentalisme sebagai ilmu yang cermat; membentuk kelompok pakar pengkaji nasional yang memperhatikan peradabannya sendiri dari cara pandang tempat ia tinggal; membentuk generasi baru yang dapat disebut dengan para filosof; melakukan pembebasan diri dari pijakan ontologis kediriannya, bukan sekedar pengetahuan serta menciptakan babak baru dunia kemanusiaan yang berdasarkan pada persamaan dan unsur-unsur etnisitas.
Agenda pertama, sikap lita terhadap tradisi lama, dapat membantu mengenhtikan westernisasi sebagai upaya rekontstruksi, untuk menghilangkan keterasingannya. Sementara itu kalangan elit terpisah dari tradisinya  karena tiddak menemukan dirinya dalam tradisi tersebut, dan karena tidak menguasai bahasa lama, sehingga ia tidak mengubah tingkat westernisasinya bahkan menerima penetrasi pemikiran Barat kedalam tradisi umat dan elemen utamanya menjadi suatu keharusan yang tidak dapat dihindari sehingga mengakibatkan pertikaian antara kelompok pembela Ortodoks dan kelompok pembela Modern.  Dengan adanya sikap terhadap tradisi lama untuk menghapuskan keterpecahan kepribadian bangsa, keterputusan ironis, dan kebudayaan tanah air.

C.    METODE PEMIKIRAN HASAN HANAFI
Hanafi merupakan pemikir yang akrab dengan tradisi filsafat Marx. Pandangan populistik-sosialistik-nasionalistik yang pada dasawarsa 60-an  menjadi pandangan yang mendominasi negara-negara Arab, yang menjadi ideologi pan-Arabisme, telah mewarnai pemikirannya. Sehingga tak heran apabila Hanafi mencita-citakan persatuan umat Islam sebagaimana yang diperjuangkan al-Afghani. Ia menggunakan metode dialektika dalam mensistematisasikan pengetahuan dan pengalamannya ke dalam satu keutuhan yang inklusif. 
Dalam pemikiran Hasan Hanafi, Metode tersebut dipakai ketika menentukan titik pijak dalam melakukan pembaharuan tradisi. Menjelaskan posisi kita ditengah tiga realitas : tradisi masa lampau, tradisi barat, dan realitas kontemporer. Tradisi itu menurutnya hanya bisa dijelaskan dengan sejarah, mengetahui susunan dan akarnya dan kemudian menfingsikannya untuk melakukan transformasi sosial.
Dalam proyek pembaharuan Hanafi memfungsikan agama sebagai spirit gerak menuju keluar. Agama memberikan spirit pembebasan manusia. Ia bergerak dari seperangkat aturan normatif (Akidah) Menuju praksis. Bahkan agama memberikan semangat revolusioner, dalam menangkap semangat ini Hanafi memahami kembali teks-teks  untuk lebih mendapatkan legitimasi bagi proyek pembaharuannya, karena bila tidak demikian maka kita akan terserabut dari akar dan identitas diri sendiri.  Dan ia pun melakukan kritik internal. Dari sisnilah kita dapat mengatakan kalau Hanafi menggunakan Hermeneutika sebagai pisau bedah untuk merealisasikan semua itu.
Persentuhaan Hasan Hanafi dengan tradisi filsafat eropa, mngekibatkan dirinya tidak bisa menghindarkan dirinya untuk tidak menggunakan fenomenologi. Fenomenologi ini digunakan Hanafi untuk menghindari membahas metafisis yang tidak memiliki relevansi lagi untuk menggambarkan realitas Manusiawi dan realitas ilahi.



D.    Hermeneutika Al-Qur‘an
1)      Diskursus Kontemporer
Hermeneutika pada mulanya merupakan pembicaraan mengenai metode penafsiran terhadap teks-teks, khususnya kitab suci. Yang kemudian barulah hermeneutika direfleksikan secara filosofis menjadi metode-metode penafsiran dalam disiplin Ilmu sosial dan humaniora.
Dengan berkembangnya Filsafat kearah post Modernisme, hermeneutika mulai berperan sebagai salah satu disiplin yang sangat kritis terhadap metodologi pemahaman teks dan realitas. Hermeneutika bukan lagi sekedar teori penafsiran akan tetapi menempatkan diri sebagai kritikus metode penafsiran. Hermeneutika berubah menjadi “metateori tentang teori interpretasi”, tidak lagi terbatas pada metode apa yang valid untuk mencapai kebenaran penafsiran. Hermeneutika mulia merambah dan meneliti fenomena apa yang terjadi dalam penafsiran, faktor-faktor apa yang melahirkan sebuah kesimpulan dalam penafsiran, menyidik cara-cara munculnya sebuah penafsiran sehingga dianggap sebagai kebenaran, seerta mendekonstruksi acuan dari kebenaran-kebenaran yang selama ini dipercaya dengan cara mengkritisi dasar-dasar epistemologis dan ontologis yang menopangnya.
Hermeneutik merupakan sebuah metode dengan membaca teks, yang di awali dengan disertasinya di Sorbone yang berupaya untuk memperlihatkan tindakan hermeneutis sangat penting bagi transisi politik dari tradisionalisme ke modernisme. Makna yang dihasilkan dari pertemuan kontekstual antara teks dan manusia sebagai binatang politik, dalam konteks sosial politik dimana teks tersebut dihasilkan, dibaca dan digunakan. Pendiriannya dalam hermeneutika hampir sama dengan Edward Said. Ketika teks kembali dibaca dan ditafsirkan dari suatu generasi disuatu tempat kegenerasi berikutnya di tempat yang lain. Maka makna yang terkandung akan diproduksi ulang oleh individu dan kelompok masyarakat. Sesuai keadaan dan tempat dimana pembaca tersebut berada.
Meskipun Hanafi dipandang sebagai Intektual paling radikal  dalam abad ini. Di lain pihak beliau memiliki sebagian agenda kaum tradisionalis. Dimana Hanafi mnecoba mempertahankan tradisi tekstual Islam dan struktur isinya sekarang dengan menyerahkan kembali teologi Kalam Islam dalam konteks Modern. Dalam pembaharuan Ilmu Kalam penekanannya mencerminkan semangat Muhammad Abduh dan Sayyid Ahmad Khan lebih banyak dari pemikir lainnya. Bagi Hanafi Kalam lebih dari sekedar simbol Rasionalime. Kalam adalah Tradisi Tekstual yang harus dibaca Ulang mengingat situasi Islam saat ini di Dunia Islam. Yang diharapkan kemudian dapat memberikan makna yang relefan dan sesuai dengan keadaan yang ada.
Perhatian pemikir  Muslim Modern terhadap problem penafsiran Al-Quran yang kian meningkat seiring kesadaran mereka dengan modernitas. Kesadaran tersebut menciptakan model-model penafsiran yang memadai terhadap Al-Quran dengan bantuan kesadaran dan beragam metode ilmiah yang tersedia. Dengan adanya Instrumen metodologis tersebut diharapkan penafsiran Al-Quran yang mampu merasionalkan doktrin yang ditemukan dalam Al-Quran dan pada saat yang sama mendemitologisasi berbagai pemahaman mistik dan metafisik di sekitar penafsiran Al-Quran.
Masuknya beberapa gagasan dan metode ilmiah kedalam wacana penafsiran Al-Quran bukan tanpa masalah. Teutama jika mengaitkan beberapa unsur asing terhadap kedalam Al-Quran, seperti yang sering dicurigai oleh Fazlur Rahman. Sehingga tidak aneh bila ada tuduhan bahwa mayoritas modernis Muslim  menafsirkan Al-Quran bukan untuk memahami makna sejati. Melainkan untuk mencapai tujuan ekstra Qurani untuk menghilangkan kesenjangan intelektual antara komunitas Muslim dan penemuan-penemuan Barat.
Permasalalan tersebut menjadi dilema tersendiri bagi para pemikir Muslim, karena di satu sisi, mereka berkewajiban menafsirkan Al-Quran sesuai dengan tuntutan ilmiah dan objektif. Sementara disisi lain, terdapat kepentingan moral untuk menjelaskan Al-Quran sejalan dengan kebutuhan umat islam saat ini. Dan dua hal tersebut melainkan seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Karena kesadaran para pemikir Muslim terhadap realitas kekinian  dan pemenuhan standar ilmiah dalam penafsiran Al-Quran sehingga menghasilkan tulisan-tulisan yang dikembangkan oleh para pemikir Muslim Kontemporer. Minat para penulis tersebut mewakili arus ketidak puasan hermeneutika tradisional Al-Qur‘an yang cenderung historis dan tidak kontekstual lagi.
Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut tersebut, para pemikir Muslim modern dapat dibedakan kedalam dua kategori:pertama, mereka yang berangkat dari titik tekan yang rendah, yang hanya berupaya menjelaskan makna-makna teks secara objektif dan baru kemudian dilanjutkan realitas kekinian untuk kontekstualisasinya.Kedua, yakni mereka yang berusaha menafsirkan berangkat dari realitas kontemporer umat Islam menuju pemahaman yang sesuai dengan ajaran-ajaran yang mungkin diperoleh dari penafsiran Al-Quran. Kategori pertama diwakili oleh: Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, dan Nash Abu Zayd. Sedangkan kategori kedua diwakili oleh Farid Esack, Asghar Ali Engineer, dan Amina Wadud-Muhsin.
Dari hal diatas dapat diketahui bahwa Hermeneutika senantiasa beranjak dari dua pijakan:
Pertama, hermeneutika pertama-tama berurusan dengan refleksi atas fenomena penafsiran sebelum berurusan dengan metode dan pristiwa penafsiran apapun. Kedua,dalam kegiatan penafsiran, seorang penafsir selalu didahului oleh  persepsinya terhadap teks yang disebut sebagai prapaham. Prapaham tersebut muncul karena seorang penafsir senantiasa dikondisikan oleh situasi dimana ia terlibat dan sekaligus mempengaruhi kesadarannya.
Namun seperti apapun Usaha yang dilakukan oleh para penafsir tidak bisa menafsirkan Al-Qur’an yang sepenuhnya Objektif. Mengingat setiap penafsiran memuat sejumlah pilihan yang subyektif sifatnya. Hal ini disebabkan setiap interpretasi berusaha menggambarkan Maksud teks, namun bersamaan dengan itu, mengandung prior text berupa persepsi, keadaan, dan latar belakang dari orang yang membuat interpretasi. Prior text ini makintidak terhindarkan sebab ia merupakan bahasa dan konteks budaya dimana teks tersebut ditafsirkan.
Dalam proses pemahaman Al-Quran tidak akan bisa terlepas dari sejarah, tradisi Setiap kegiatan penafsiran adalah suatu partisipasi dalam proses kebahasaan yang menyejarah, potongan tradisi, dan partisipasi ini terjadi dalam waktu dan tempat yang partikular. Keterlibatan kita dengan Al-Quran juga pasti  terjadi dalam penjara ini, kita tidak bisa membebaskan diri dari , dan meletakkannya di luar, bahasa, kebudayaan, dan tradisi.
Dalam penafsiran Al-Quran ini Hasan Hanafi menawarkan sebuah cara baca baru terhadap teks (Hermeneutika teks) Al-Quran dengan stessing point pada dimensi-dimensi liberasi dan emansipatoris dari Al-Quran.
Hanafi berusaha menyajikan sebuah cara baru dalam menafsirkan teks (Al-Quran dan tradisi) dalam hubungannya dengan realitas, dengan mencoba menarik kembali teks kepada pendasarannya yaitu realitas. Sebagai mana Al-Quran misalnya yang tidak akan turun tanpa kaitan yang jelas dengan kepentingan masyarakat masa Nabi. Masalahnya adalah bagaimana mengembalikan teks Al-Quran tersebur kepada referencinya pada realitas. Sementara teks tidaklagi memadai sekedar dirujuk dengan masa lalu yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut.
Sebagai teks Al-Quran kini berhadapan dengan realitas umat islam kontemporer yang penuh persoalan sosial dan kemanusiaan. Untuk itu perlu dilakukan penafsiran hermeneutika yang melampaui penafsiran-penafsiran klasik terhadap teks Al-Quran. Kareana diyakini penafsiran kontemporer lebih mampu menampilkan dimensi-dimensi humanistik dari Al-Quran yang selama ini bersembunyi dibalik kekakuan teks-teks yang bernuansa teologis.
2)      Hermeneutika pembebasan
Hermeneutika merupakan sebuah metode yang dilakukan Hanafi sebagai suatu upaya yang dilakukan untuk melakukan pembaharuan dalam penafsiran, yang selama ini belum mampu membaca keadaan relita umat Islam.
Hermeneutika pada dasarnya adalah suatu metode atau cara untuk menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya, di mana metode hermeneutika ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang. Hermeneutika tidak hanya memandang teks dan berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Lebih dari itu ia berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horizon-horizon yang melingkupi teks tersebut. Horizon yang dimaksud adalah horizon teks, horizon pengarang dan horizon pembaca. Untuk memperoleh makna yang konprehensif, diperlukan adanya pengolahan teks, dan konteksnya juga diteruskan ke kontekstualisasi sebab seseorang penafsir masih memiliki tanggung jawab menyampaikan pemahaman yang diperoleh terhadap orang lain di masanya.
Sebagai sebuah metodologi penafsiran, hermeneutika terdiri atas tiga bentuk atau model, yaitu; Pertama, hermeneutika objektif yang dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrick Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Emilio Betti (1890-1968). Menurut model pertama ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang dipahami pengarangnya, sebab apa yang disebut teks, menurut Schleiermacher, adalah ungkapan jiwa pengarangnya, sehingga seperti juga disebutkan dalam hukum Betti, apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan kita melainkan diturunkan dan bersifat instruktif. Penafsir harus keluar dari tradisinya sendiri untuk kemudian masuk kedalam tradisi dimana si penulis teks tersebut hidup, atau paling tidak membayangkan seolah dirinya hadir pada zaman itu. Sedemikian, sehingga dengan masuk pada tradisi pengarang, memahami dan menghayati budaya yang melingkupinya, penafsir akan mendapatkan makna yang objektif sebagaimana yang dimaksudkan si pengarang.
Kedua, hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern khususnya Hans-Georg Gadamer (1900-2002) dan Jacques Derida (l. 1930). Menurut model kedua ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna objektif yang dimaksud si penulis seperti yang diasumsikan model hermeneutika objektif melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri. Stressing mereka adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan pada ide awal si penulis. Inilah perbedaan mendasar antara hermeneutika objektif dan subjektif. Dalam pandangan hermeneutika subjektif, teks bersifat terbuka dan dapat diinterpretasikan oleh siapapun, sebab begitu sebuah teks dipublikasikan dan dilepas, ia telah menjadi berdiri sendiri dan tidak lagi berkaitan dengan si penulis. Karena itu, sebuah teks tidak harus dipahami berdasarkan ide si pengarang melainkan berdasarkan materi yang tertera dalam teks itu sendiri. Seseorang harus menafsirkan teks berdasarkan apa yang dimiliki saat ini (vorhabe), apa yang dilihat (vorsicht) dan apa yang akan diperoleh kemudian (vorgriff). Dalam konteks keagamaan, teori hermeneutika subjektif ini berarti akan merekomendasikan bahwa teks-teks al-Qur`an harus ditafsirkan sesuai dengan konteks dan kebutuhan kekinian, lepas dari bagaimanarealitas historis dan asbâl al-nuzûl-nya dimasa lalu.
Ketiga, hermeneutika pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh muslim kontemporer khususnya Hasan Hanafi (l. 1935) dan Farid Esack (l. 1959). Hermeneutika tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau metode pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi. Menurut Hanafi, dalam kaitannya dengan al-Qur`an, hermeneutika adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis, dan juga tranformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada realitas kehidupan manusia. Hermeneutika sebagai sebuah proses pemahaman hanyamenduduki tahap kedua dari keseluruhan proses hermeneutika. Hermenutika pembebasan inilah yang menjadi fokus kajian lebih lanjut dalam makalah ini.
Hasan Hanafi lebih dikenal sebagai filusuf dibanding hermeneut, apalagi sebagai seorang Mufassir. Namun sebagai sarjana yang matang dalam pemikiran Barat dan filsafat hukum Islam, Hasan Hanafi tidak tanggung-tanggung dalam eksperimentasi hermeneutika Al-Qur‘annya. Ia membangun pemikiran Hermeneutisnya diatas empat pilar. Dari khazanah klasik, ia memilih Ushul Fiqh,sementara fenomenologi, Marxisme, disamping hermeneutika itu sendiri, dari tradisi intelektual Barat.
Dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman klasik, hermeneutika Al-Qur‘an Hasan Hanafi sengaja memanfaatkan landasan Ushul Fiqh sebagai titik tolak. Sebab adanya keterkaitan antara kegiatan penafsiran di satu sisi, dan proses pembentukan hukum di sisi lain. Ushul fiqh berusaha merumuskan hukum dalam menghadapi tuntutan realitas sosial, maka jelas Ushul fiqh kompatibel, dengan kepentingan hermeneutika pembebeasan Hanafi yang berbicara tentang kebutuhan dan kepentingan kaum muslimin dalam menghadapi berbagai permasalahan kontemporer mereka.
Penafsiran tersebut dilakukan Hanafi karena ia melihat ilmu tafsir selama ini berpatokan pada periwayatan, dan belum muncul penafsiran yang sesuai realitas umat Islam dan pembacaan terhadap kondisi masyarakat dalam teks-teks Al-Qur‘an. Hanafi mengkritik tafsir klasik yang mengikuti pola analisis-teoritis, baik itu metode Bil ma’sur ataupun bi ra’yi maksdunya seorang penafsir tidak lebih dari seorang penjelas yang menyimpulkan makna dari teks dengan akalnya yang murni kemudian mencarikan dalil baik itu dalil naqli maupun argumen aqli.
Hanafi menyayangkan belum adanya tafsir yang berlandaskan relitas dan pembacaan atas kondisi masyarakat Islam dalam sinaran teks-teks Al-Qur‘an. Namun demikian Hanafi memberi pengecualian terhadap beberapa tafsir spserti, al-Manar(muhammad Abduh dan Rashid Rida), Turjuman Al-Quran(Abu Al-A‘la al-Maududi), Fi Zhilal Al-Qur‘an(Sayyid Qutub),  Namun belum ada hingga kini, tafsir tematis yang mengumpulkan semua temayang serupa yang kemudian merangkainya dalam bingkai yang komprehensif, dimana manusia menempati posisi sentral. Akibat belum adanya tafsir tematis, hilanglah kesatuan tematis dalam Al-Quran dan kita tidak bisa membaca kebutuhan kita didalamnya, terutama tema-tema kemanusiaan dan sejarah.
Yang kemudian memunculkan sebuah metode alternatif untuk para mufassir, yang berupa usaha untuk kembali kepada yang alami dan natural yang dianggapnya sebagai sumber pemikiran. Hel demikian akan terwujud dengan bebas dari penafsiran idealis, dan menancapkan kaidah-kaidah metode ilmiah, serta lepas dari hambatan bahasa dan takwil.
Metode interpretasi Al-Quran memperjelas hubungan antara tradisi dan pembaharuan, tersebut menyebutkan bahwa penafsiran itu mencari mencari pemecahan atau solusi atas masalah, menceritakan sinopsis ayat-ayat yang berkaitan dengan tema-tema dasar tertentu, dan membuatnya sebagai analitis liguistik serta pengujian terhadap situasi faktual. Kemudian penafsir tersebut membuat suatu perbandingan  antara cita-cita dan realita, setelah membentuk struktur, memberikan tema kualitatif dan menganalisis situasi faktual, penafsir menggambarkan perbandingan antara struktur dan cita-cita yang kesimpulannya ditarik dari analisis-isi dari teks dan situasi faktual yang disebabkan oleh statistik dan ilmu pengetahuan sosial. Penafsir berada diantara teks dan realita. Dan tahap terakhir dalam metode itu adalah bahwa penafsir harus melakukan tindakan.
Sekali jarak terlihat antara dunia cita-cita dengan dunia realita, antara penguasa surga dan penguasa Bumi, tindakan muncul sebagai suatu tahap baru dalam proses interpretasi. Penafsirannya sendiri beralih dari teks menuju tindakan, dari teori kepraktek...Langkah, waktu, usaha-usaha terpadu yang bertahap diharuskan tanpa melompati tahapan-tahapan tersebut atau menggunakan kekerasan. Realisasi lengkap dari cita-cita dan idealisasi realita merupakan proses alami Reason dan Nature (akal/budi dan alam).
Concern Hasan Hanafi kepada agenda hermeneutika Alquran yang dibangun atas dua agenda: persoalan metodis atau teori penafsiran dan persoalan filosofis atau matateori penafsiran. Secara metodis, Hanafi menggariskan beberapa langkah baru dalam memahami Alquran dengan tumpuan utama pada dimensi liberasi dan emansipatoris Alquran. Sementara untuk agenda filosofis, Hanafi telah bertindak sebagai komentator, kritikus, bahkan dekonstruktor terhadap teori lama yang dianggap sebagai kebenaran dalam metodologi penafsiran Alquran. Dalam membangun hermeneutika ala Hasan Hanafi, ia menggunakan beberapa piranti besar, yaitu ushul fiqh, fenomenologi, marxis, dan hermeneutika itu sendiri. Dengan menggunakan empat ingridients tersebut,Hasan Hanafi membangun sebuah teori hermeneutika yang mampu mewadahi gagasan pembebasan dalam Islam; tafsir revolusioner yang mumpuni menjadi landasan normatif-ideologis bagi umat Islam untuk menghadapi segala bentuk represi, eksploitasi, dan ketidakadilan, baik dari dalam maupun luar. Hasan Hanafi mengusung hermeneutika yang lebih bersifat praksis dan mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan kronis umat saat ini.
Karena Tafsir Klasik Al-Quran tidak lagi memberikan makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan Umat Islam. Bahkan banyak sekali penafsiran al-Quran yang terpelintir dan melenceng demi maksud-maksud politik. Semantara klaim objektivitas dan paling benar selalu di kedepankan. Namun kenyataan tidak memberikan solusi bagi permasalahan umat tetapi justru menguntungkan pihak-pihak yang berkuasa  dari pada membela yang tertindas.
Berbeda dengan kecenderungan tersebut, Hermeneutika Al-Quran merupakan cara baru penyajian dalam penafsiran Al-Quran, yang memberikan kepentingan jelas bagi kemanusiaan dan perubahan sosial. Sebagai suatu solusi.













BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hasan Hanafi merupakan salah seorang tokkoh pembaharuan pemikiran dalam Islam, yang memberikan sumbangan pemikirannya sebagai kontribusi yang diberikan kepada umat Islam. Adapun salah satunya adalah.
Kiri Islam (al-Yasar al-Islami)
Kiri Islam merupakan gerakan Revolusi kebangkitan umat islam, mendapat seksenya dari revolusi Iran. Kelanjutan dari al-Urwa al-Mutsqa dan al-Manar(Jamaluddin al-Afghani). Sertra tampil sebagai tokoh reformis terhadap tradisi intelektual islam klasik (sosok Muhammad Abduh). Ia merupakan penyempurnaan agensda modern Islam yang mengungkap realitas dan tendensi sosial politik. Yang berangkat dari perbedaan-perbedaan yang ada pada umat Islam, yaitu antara yang miskin dan yang kaya, yang kuat dan yang lemah, penindas dan yang tertindas, dan lain sebagainya.
Dalam Kiri Islam ada tiga agenda sebagai ideologi revolusioner bagi kebangkitan Islam, yakni pembaharuan tradisi Islam masa lampau, menantang peradaban Barat dengan mengusung oksidentalisme, dan melakukan analitis realitas Dunia Islam.
Pembaharuan tradisi
Tradisi menurut Hanafi dapat ditenukan dalam berbagai level. Pertama, tradisi itu dapat kita tenukan dalam berbagai bentuk tulisan, buku, manuskrip, atau lainnya yang tersimpan di perpustakaan atau tempapt-tempat lain. Kedua, Tradisi itu dapat ditemukan juga dalam rupa konsep-konsep, pemikiran, dan ide-ide yang masih hidup dan hadir ditengah realitas. Kategori pertama lebih bersifat matrialistik sedangkan yang kedua lebih bersifat abstrak. Namun demikian keduaya tidak bisa dipisahkan dari realitas. Setiap tradisi mengusung semangat zamannya, mencerminkan tahap perjalanan sejarah, ia bisa berubah-ubah dan berganti-ganti , dan terbentuk sesuai generasi dan tantangan yanga ada pada zamannnya.
Tradisi itu dapat berupa Khazanah yang terpendam dalam jiwa masyarakat, yang secara sadar atau tidak mengarahkan dalam prilaku keseharian. Oleh karena itu bukan tidak mungkin tradisi masa lampau muncul lagi pada tradisi masa kini. Disinilah tradisi sebagai pandangan hidup. Yakni, bisa saja kita hidup dizaman modern namun masih tetap berpijak pada tradisi masa lampau.
Oksidentalisme : Menantang Barat
Concern dari oksidentalisme adalah mempersoalkan kesentralan peradaban Barat; menggugat dualisme antara pusat dan pinggir pada tingkat peradaban; mengembalikan keseimbangan peradaban manusia, dengan menelanjangi secara kritis kesadaran Barat-Eropa; meluruskan konsep ke-Internasionalalisasian budaya Barat; dan pada akhirnya meng akhiri mitologi kebesaran peradaban Barat.
Hermeneutika Al-Quran
Hanafi berusaha menyajikan sebuah cara baru dalam menafsirkan teks (Al-Quran dan tradisi) dalam hubungannya dengan realitas, dengan mencoba menarik kembali teks kepada pendasarannya yaitu realitas. Sebagai mana Al-Quran misalnya yang tidak akan turun tanpa kaitan yang jelas dengan kepentingan masyarakat masa Nabi. Masalahnya adalah bagaimana mengembalikan teks Al-Quran tersebur kepada referencinya pada realitas. Sementara teks tidaklagi memadai sekedar dirujuk dengan masa lalu yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut.
Sebagai teks Al-Quran kini berhadapan dengan realitas umat islam kontemporer yang penuh persoalan sosial dan kemanusiaan. Untuk itu perlu dilakukan penafsiran hermeneutika yang melampaui penafsiran-penafsiran klasik terhadap teks Al-Quran. Kareana diyakini penafsiran kontemporer lebih mampu menampilkan dimensi-dimensi humanistik dari Al-Quran yang selama ini bersembunyi dibalik kekakuan teks-teks yang bernuansa teologis.



DAFTAR PUSTAKA

Esposito,  John L. (ed), 2001Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Bandung: Penerbit Mizan,
Eposito, John L.-John O. Voll, TT, Tokoh-Kunci Gerakan Kontempore, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Fahmi Salim, 2010, kritik terhadap studi Al-Qur’an kaum Liberal, Jakarta: Kelompok Gema Insani,
Faisol, M.Mengubah Dunia Melalui Tradisi,dalam Religion and science, Vol. 2, No. 1, Juni 2006.
Hadi, Abd., Hermeneutika Qur’ani dan perbedaan pemahaman dalam Menafsirkan Al-Qur’an, dalam Islamica, Vol.6 No.1, September 2011.
Hamid, Abdul dan Yaya, TT, Pemikiran Modern Dalam Isalm, Bandung: Pustaka Setia.
Hambali, M. Rid}wan, TT, Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Jakarta: Mizan.
Hanafi, Hasan, Aku Bagian Dari Fundamentalisme Islam, Islamika, Ciputat, 15 Februari 2006. 
Kusna diningrat, E., Hasan Hanafi: Islam Adalah Protes, Oposisi dan Revolusi,dalam Islamlib.com 01 Januari 2003.
Martin, Richard C. dkk, 2002, Post Mu’tazilah (genealogi Konflik Rasionalisme dan Tradisionalisme Islam), Yogyakarta: Ircisod,
Mubasyaroh, Model Penafsiran H{asan H{anafi. dalam ADDIN, Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2011.
Nugroho, TT, TK,. Muhammad Adji, Hermeneutika Al-Qur’an Hasan Hanafi (dari teks ke aksi: merekomendasikan tafsir tematik/maudhu’i.
Saenong, Ilham B., 2002, Hermeneutika Pembebasan (metodologi tafsir al-Qur’an menurut Hasan Hanafi, Jakarta: Teraju.
Soepono, Kritik Hasan Hanafi Tentang Sufisme, dalam At-Tahrir, Vol. 9, No. 2 Juli 2009.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar