MAKALAH
“GERAKAN PEMIKIRAN
PEMBAHARUAN HASAN HANAFI”
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Pemikiran Modern Dalam Islam (PMDI)
Oleh :
Sahabat Ujang
1134030061
|
|
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Abad Ke 20 sekarang ini merupakan abad baru dalam
sejarah dengan benturan-benturan yang kritis dan cepat merata ke segenap ujung
dan pojok dunia. Benturan-benturan itu adalah produk akal manusia dan
aktivitasnya yang kreatif, yang dengan itu timbul transformasi sosial dan
kultural yang akibat-akibatnya juga terasa dalam kehidupan agama.
Dalam perkembangannya Islam banyak sekali mengalami
perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan yang terjadi. Karena adanya
ketidak relevannya antara masa klasik dan masa berikutnya. Sehingga terjadi
suatu pembaharuan pemikiran yang terjadi, salah satunya adalah Hasan Hanafi
yang merupakan seorang tokoh pembaharuan.
Berkaitan dengan hal tersebut yang perlu dikaji bila
membicarakan mengenai pembaharuan pemikiran seorang tokoh maka yang perlu di
perhatikan adalah kondisi lingkungan dimana dia dibesarkan. Karena kondisi
lingkungan itulah yang pada umumnya melatar belakangi munculnya gagasan-gagasannya itu. Misalnya
Ibn Khaldun, dalam karya monumentalnya Muqaddimah, yang menegaskan
tentang fase-fase terbentuknya fisik dan mental amnusia oleh faktor-faktor
geografis dan cuaca mereka berada. Selain cuaca, tradisi dimana mereka berada
juga mempengaruhi.
Dari apa yang dikatakan oleh Ibn Khaldun diatas , maka
dapat kita jadikan pijakan untuk mengetengahkan sosok, sosiokultural dan
politik yang melatarbelakangi ide-ide proyek Hasan Hanafi merupakan tokoh
penyeru “Teologi pembebasan” dan Transformasi, dengan proyeknya Al-Yasar
Al-Islami, Revitalitas Turats. Hingga oksidentalisme, yang lahir sebagai
refleksi dari kekacauan suasana sosial-politik dan intelektual di dunia Arab
pada saat itu, yang sangat penting untuk dikaji. Banyak pengamat Hasan Hanafi
mengatakan terutama Al-Yasar Al-Islami, : Paradigma Islam
Radikal, yang mengandung butir-butir besar, orisinal, radikal dan
kontroversial, ini perlu bagi kita yang bergumul dalam mencari beberapa
alterlnatif Islam yang selalu relevan dengan pembangunan pemikiran keislaman di
Tanah air. Sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah "manifesto
politik" yang berbau ideologis..
Jika Kiri Islam baru merupakan pokok-pokok pikiran
yang belum memberikan rincian dari program pembaruannya, maka kemudian
buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya
selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian
terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam
kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku
ini dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental.
Selain hal-hal diatas Hasan Hanafi juga seorang tokoh
pemikir kontemporer yang dkenal cukup banyak merumuskan metodologis seputar
hermeneutika Al-Qur‘an, yang juga akrab dengan problem konkret seperti:
keterbelakangan, kemiskinan, buta huruf, penindasan hingga penjajahan multi
dimensi. Dimana perbedaannya dengan rumusan lain adalah selain Hermeneutika
Hanafi berangkat dari realitas “empiris” kemanusiaan, juga sampai pada
perumusan untuk kepentingan transformasi sosial.
Lebih lanjut, Hermeneutika Hasan hanafi merupakan sebuah metode
yang dilakukan melihat ketidak mampuan tafsir-tafsir klasik dalam memberikan
kontribusi dalam penyelesaian masalah yang terjadi pada diri umat Islam, yang
di harapkan menjadi solusi dalam penyelesaian dari masalah tersebut.
B. Rumusan masala
1. Apa yang melatar belakangi
pemikiran pembaharuan Hasan Hanafi?
2. Bagaimana riwayat hidup
(biografi) Hasan Hanafi?
3. Bagaimana gerak pemikiran dan
pembaharuan yang dilakukan oleh Hasan Hanafi?
C.
Tujuan
Pembahasan
1. Untuk
mengetahui dan memahami riwayat hidup (biografi) Hasan Hanafi.
2. Untuk
mengetahui dan memahami gerakan pemikiran dan pembaharuan yang dilakukan oleh
Hasan Hanafi.
3. Untuk
mengetahui dan memahami karya-karya Hasan Hanafi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Hasan Hanafi
Hanafi lahir perkampungan di dekat masjid Al-azhar
Kairo Mesir, pada tanggal 19 Februari 1935. Dengan situasi politik
saat itu yang di warnai politik sayap kiri dan sayap kanan, sayap kiri terdapat
partai komunis sebagai pengaruh Soviet, dan disayap kanan terdapat Ikhwanul
Muslimin yang didirikan oleh Hassan Albana. Kedua kelompok tersebut memiliki
pemikiran yang saling bertolak belakang dan masing-masing meiliki pendukung
setia baik dari kalangan Mahasiswa dan juga para intelektual Muda.
Situasi tersebut memiliki pengaruh terhadap
kepribadian Hasan Hanafi. Ketika ia berumur 13 tahun misalnya ia mendaftarkan
diri sebagai sukarelawan untuk dikirim ke Palestina namun karena Umurnya belum
cukup usia sehingga ia tidak diterima. Namun hal tersebut tidak menyurutkan
semangatnya, sehingga pada umur 16 tahun ia ikut perang gerilya melawan Inggris
di terusan Suez.
Hanafi mengawali pendidikannya
mulai tingkat dasar, dan melanjutkan ke madrasah Tsanawiyah Khalil Agha, Kairo.
Sejak sekolah disinilah Hanafi mulai tertarik dengan kegiata-kegiatan
intelektual dengan mempelajari pemikiran sayyid Qutb tentang keadilan dan
Islam, dan dengan teman-temannya ia mengikuti diskusi Ikhwan al-Muslimin.
Dengan kegiatan tersebut ia terdorong untuk mendalami pemikiran agama, revolusi
dan perubahan sosial, filsafat teori-teori sosial. Kemudian Hanafi mendalami
filsafat di Universitas Kairo pada tahun 1952-1956. pada saat ini, Hanafi
dihadapkan pada situasi yang sangat buruk, dimana terjadi pertentangan keras
antara Ikhwan dan gerakan revolusi. Saat itu Hanafi berada di pihak Muhammad
Najib yang berhadapan dengan Nasser. Peristiwa demi peristiwa inilah yang
menjadikan Hanafi memutuskan untuk menjadi pemikir, pembaharu dan reformis.
Setelah menyelesaikan studi di
Kairo tahun 1956, Hanafi melanjutkan studi di Universitas Sorbone, Perancis.
Disana ia banyak menyerap Barat dan mengkonsentrasikan diri pada kajian
pemikiran barat pra modern dan modern. Selain itu Hanafi banyak mempelajari
tentang masalah-maslah yang sedang melanda umat muslim. Hanafi juga pernah
belajar pada seorang pemikir Katolik, J. Gitton, tentang metodologi berfikir,
pembaharuan dan sejarah filsafat. Ia juga belajar fenomenologi dari Paul
Recoeur dan analisis kesadaran dari Husserl.
Setelah lulus Hanaffi
mengembangkan karir keilmuannya di Mesir dan Negara-negara lain selain Mesir.
Di Mesir ia memberikan kuliah dengan jabatan sebagai Lektor 1967, lalu menjadi
lektor kepala 1973, dan professor filsafat di Fakultas Filsafat di Universitas
Kairo. Selain di Mesir Hanafi juga aktif memberikan kuliah di Perancis, Belgia,
Temple University Philadelpia Amerika Serikat, Universitas Kwait, Universitas
Ves Maroko, serta menjadi guru besar tamu di Universitas Tokyo (1984-1985).
Kemudian ia diangkat menjadi penasihat Program pada Universitas
PBB di Jepang(11985-1987). Sepulang dari Jepang ia diberi jabatansebagai ketua
Jurusan Filsafat di Universitas Kairo.
Ketika Mesir di bawah
pemerintahan Gamal Abdul Nasser yang memiliki paham nasionalisme Arab
(Nasserisme) paham ini bergaung juga Sudan, Yordania, dan kawasan selatan
Yaman yang pada saat itu masih di jajah Inggris.
Hanafi juga masuk dalam gerakan Ikhwan, dan
mengoordinasi Persatuan pelajar Mesir dibawah panji kebesaran
Ikhwan, sebagai tandingan dari partai “ gerakan pembebasan”, partai Wafd, dan
sosial Marxizme.
Ikhwan dan revolusi semakin menyatu setelah terjadi
perundingan Maret antara Inggris dan gerakan Nasionalis Mesir tercapai. Ihkwan
mengencam dan mengkritik atas keputusan perundingan tersebut, dan Hasan Hanafi
bertugas sebagai pengedar selebaran kritikan tersebut. Dalam kariernya bersama
ikhwan kurang sukses, hingga terjadi suatu perselisihan khususnya tentang
pemisahan antara putra dan putri di sekolah. Meski dinilai tidak lulus karena
ia berteman dengan kaum putri, namun ia tetap ditoleransi dan dijadikan agen
untuk menggaetnya menjadi tentara sukarelawan. perselisihan yang terjadi
kemudian menjadikan Hanafi menjadi bagian Islam Kiri.
Sebagai seorang intelektual
dan pemikir Islam, Hanafi termasuk penulis yang produktif. Banyak buku yang dihasilkan
darinya. Tidak kurang dari lima puluh buku yang telah ditulisnya, ada yang ber
bahasa Arab, ada juga yang berbahasa Inggris dan Perancis. MIsalnya yang
berbahasa Arab adalah Qadhaya al-Mu‘ashirat(1977), Turats
wa al-Tajdid: Mauqifuna min al-Turats al-Qadim(1980),Al-Atsar al-Islami:
Kitabat fi al-Nadhat al-Islamiyat(1981) dan Muqaddimatal-‘Ilm
al-Istighrab(1991). Contoh karya Ilmiah yang berbahasa Perancis
adalah Les Methodes d’Exegeses: Essai sur La Science des Fondaments de
Comprehension “Ilmi Ushul Fiqh(1965) danL’Exegeses de La Penomenologue
et son Application au Phenomene Religieux (1980), sedangkan contoh
yang berbahasa Inggris adalah Religious Dialogue and Revolution(1977), Tradition
and Civilization Renaissance (1981) dan Religion, Ideology, and
Development (1988).
Berkaitan dengan karya-karya
diatas, beberapa penulis yang mengkaji pemikiran Hasan Hanafi membagi menjadi
tiga priode, priode pertama 1960-an, priode kedua 1970-an, priode ketiga
1980-an sampai 1990-an.
Pada priode pertama 1960-an
pemikiran Hasan Hanafi dipengaruhi oleh faham-faham dominan yang berkembang di
Mesir. Yaitu Nasionalistil-Sosialistik populistik yang juga dirumuskan sebagai
ideology Pan Arabisme, dan juga dalam kondisi mesir yang kurang menguntungkan
karena Mesir baru mengalami kekalahan dari Israel pada tahun 1967. Pada tahun
1956-1966, Hanafi sedang dalam masa belajar di Prancis dan banyak menekuni
bidang Filsafat dan ilmu sosial dalam kaitannya hasrat dan usahanya untuk
melakukan rekonstruksi pemikiran Islam.
Awal periode 1970-an, Hasan Hanafi juga memberikan
perhatian utamanya untuk mencari penyebab kekalahan umat Islam dalam perang
melawan Israel tahun 1967. Oleh karena itu, tulisan-tulisannya lebih bersifat
populis. Di awal periode 1970-an, ia banyak menulis artikel di berbagai media
massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al-Fikr al-Mu‘ashir, dan Mimbar al-Islam.
Pada tahun 1976, tulisan-tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan
judul Qadhaya Mu‘ashirat fi Fikrina al-Mu‘ashir.
Kemudian, pada tahun 1977, kembali ia menerbitkan
Qadhaya Mu‘ashirat fi al Fikr al-Gharib. Buku kedua ini mendiskusikan pemikiran
para sarjana Barat untuk melihat bagaimana mereka memahami persoalan
masyarakatnya dan kemudian mengadakan pembaruan.
Sementara itu Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak
tahun 1978 dan terbit tahun 1981, memuat deskripsi dan analisis pembaruan
terhadap ilmu-ilinu keIslaman klasik, seperti ushul fiqih, ilmu-ilmu
ushuluddin, dan filsafat. Dimulai dengan pendekatan historis untuk melihat
perkembangannya, Hanafi berbicara tentang upaya rekonstruksi atas ilmu-ilmu
tersebut untuk disesuaikan dengari realitas kontemporer.
Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980-an sampai
dengan awal 1990-an, dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih
stabil ketimbang masa-masa sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi mulai
menulis al-Turats wa al-Tajdid yang terbit pertama kali tahun
1980. Buku ini merupakan landasan teoretis yang memuat dasar-dasar ide
pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al-Yasar Al-lslami
(Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah "manifesto
politik" yang berbau ideologis, sebagaimana telah saya kemukakan secara
singkat di atas.
Sumbangan Intelektual yang paling utama Hanafi adalah
proyek seumur hidup yang disebutnya al-Turats wa al-Tajdid (warisan
dan pembaharuan).
B. Pembaharuan Pemikiran Hasan Hanafi
1. Pemikiran Filsafat
Dalam pemikiran filsafat hingga menghasilkan ide-ide
yang di lakukan Hasan Hanafi Bukanlah hal tidak mungkin dilakukan Melihat dari
latar belakang pendidikannya. Hasan Hanafi memperoleh gelar kesarjanaan dari
Fakultas Adab (satra Arab) Universitas Kairo Jurusan Filsafat. Yang kemudian
dilanjutkan ke Univeersis Sorbonne Prancis, selama sepuluh tahun. Selama di
Prancis yang merupakan tempat orientalis Barat, samapi ia menguasai Tradisi,
pemikiran dan keilmuan Barat dengan cukup baik. Yang kemudian di kemukakan
dalam artikelnya ia mengatakan “ Itulah Barat yang aku pelajari, aku kritik,
aku cintai, dan akhirnya aku benci”.
Hanafi menitik beratkan kajiannya pada disiplin
sosiologi agama dan paham-paham dominan dalam lingkungan sosiologi Amerika yang
banyak dibawa dan dipengaruhi oleh imigran jerman. Serta juga mengisi
kekurangannya dalam bidang politik dan ekonomi seperti paham sosialisme dan
kapitalisme, juga sejarah Barat masa pertumbuhannya pasca Eksplorasi
Geografis, masa kegemilangannya pascaimperialisme dan kolonialisme, hingga
masa kejatuhannya sebagaimana yang disinyalir oleh beberapa filosuf sejarah
kontemporeryang bersifat pesimis terhadap masa depan peradaban Barat. Sehingga
menjadikan pemikiran filsafat Hasan Hanafi banyak berlandaskan dan terpolesi
ilmu-ilmu sosial.
Kemudian setelah ia mendapatkan gelar doktornya ia
kembali ke Mesir, dan mengajar di Fakultas Sastra Jurusan Filsafat Universitas
Kairo tahun 1971, tentu hal tersebut menjadikan semakin memantapkan dan mengembangkan
keahliannya di bidang Filsafat.
Hanafi juga seorang pelopor pendirian organisasi
Himpunan Filosof Mesir, Selain itu ia juga selalu mengikuti seminar tentang
filsafat, baik Nasional maupun Internasional. Dan tidak sedikit para pemikir
yang mengacungkan jempol untuknya.
2. Kiri Islam (al-Yasar al-Islami)
Kiri Islam
merupakan gerakan Revolusi kebangkitan umat islam, mendapat seksenya dari
revolusi Iran. Kelanjutan dari al-Urwa al-Mutsqa dan al-Manar (Jamaluddin al-Afghani). Sertra tampil sebagai tokoh reformis terhadap
tradisi intelektual islam klasik (sosok Muhammad Abduh). Ia merupakan
penyempurnaan agenda modern Islam yang mengungkap realitas dan tendensi sosial
politik. Yang berangkat dari perbedaan-perbedaan yang ada pada umat Islam,
yaitu antara yang miskin dan yang kaya, yang kuat dan yang lemah, penindas dan
yang tertindas, dan lain sebagainya.
Kiri Islam juga disebut shahwah al-Islam atau
Yhaqdha al-Islam, Nahdlah Islamiah, al-Ba’ats al-Islami, dan al-wahyu
al-Islami. Namun apabila shahwah al-Islam atau Yhaqdha
al-Islam hanya merujuk kepada dunia kebangkitab Islam yang sekarang
ini menjadi wacana utama dalam dunia Islam kecuali dunia Suni, maka kiri Islam
mentransformasikan kesadaran individu menjadi kesadaran kolektif, dari
kesadaran rasional menjadi keadaran revolusi realitas. Tetapi apabila Nahdlah
Islamiah, al-Ba’ats al-Islami, dan al-wahyu al-Islami ini lebih
menonjolkan revolusi internal daripada eksternal maka Kiri Islam akan
menggerakkan keduanya secara seerentak.
Kiri Islam lahir karena ketidak berhasilan pembaharuan
yang terjadi pada saat sekarang ini. Adapun latar belakang lahirnya disebabkan
antara lain:
a.
Kooptasi kekuasaan terhadap Islam yang mana Islam hanya sekedar dijadikan
ritus dan kepercayaan ukhrawi saja.
b.
Liberalisme yang pernah ada tidak lebih dari sekedar perpanjangan tangan
Dunia Barat.
c.
Marxisme yang menentang kolonialisme dan berpresenti mewujudkan
keadilan, ternyata tidak diikuti oleh pembebasan rakyat dan mengembangkan khazanah mereka sebagai kekuatan
dalam merealisasikan kemerdekaan nasional.
d.
Nasionalisme revolusioner yang telah berhasil merubah secara radikal sistem
politik tidak berlangsung lama.
Hal inilah yang menjadi stimulus sehingga menghasilkan
adanya kiri Islam. Selain itu, kiri Islam tetap berpijak pada khazanah
inteletual masa lampau, dengan menjadikan pandangan rasionalistik muktazillah,
cara berfikir Imam Maliki, filsafat rasionalnya Ibn Rusyd atau al-Kindi,
sebagai pijakan paradigmatik independen pemikiran keagamaan. Tetap memiliki
keterkaitan ilmu-ilmu normatif tradisional murni, misalnuya tentang ulum
al-Qur’an dengan mengutamakan dimensi realitas, al-hadis dengan mengutamakan
matan teks, dan ilmu tafsir dengan mengutamakan tafsir perspektif (al-Syu‘uri).
Dalam Kiri Islam ada tiga agenda sebagai ideologi
revolusioner bagi kebangkitan Islam, yakni pembaharuan tradisi Islam masa
lampau, menantang peradaban Barat dengan mengusung oksidentalisme, dan
melakukan analitis realitas Dunia Islam.
a.
Pembaharuan tradisi
Bagi hasan Hanafi tradisi merupakan starting
point Sebagai tanggung jaawab peradaban. Sekarang ini kita berada
dalam pergulatan tradisi sebagai bagian dari pergulatan sosial. Selama tradisi menghegemoni kita, maka tidak ada
pilihan lain bagi kita kecuali untuk melawannya
untuk mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan. Dan dalam melakukan pembahaaruan tradisi
adalah sarananya.
Tradisi menurut Hanafi dapat ditemukan dalam berbagai
level. Pertama, tradisi itu dapat kita temukan dalam berbagai bentuk tulisan, buku, manuskrip, atau lainnya
yang tersimpan di perpustakaan atau tempapt-tempat lain. Kedua, Tradisi
itu dapat ditemukan juga dalam rupa konsep-konsep, pemikiran, dan ide-ide yang
masih hidup dan hadir ditengah realitas. Kategori pertama lebih bersifat
matrialistik sedangkan yang kedua lebih bersifat abstrak. Namun demikian
keduaya tidak bisa dipisahkan dari realitas. Setiap tradisi mengusung semangat
zamannya, mencerminkan tahap perjalanan sejarah, ia bisa berubah-ubah dan
berganti-ganti , dan terbentuk sesuai generasi dan tantangan yanga ada pada
zamannnya.
Tradisi itu dapat berupa
Khazanah yang terpendam dalam jiwa masyarakat, yang secara sadar atau tidak
mengarahkan dalam prilaku keseharian. Oleh karena itu bukan tidak mungkin
tradisi masa lampau muncul lagi pada tradisi masa kini. Disinilah tradisi
sebagai pandangan hidup. Yakni, bisa saja kita hidup dizaman modern namun masih
tetap berpijak pada tradisi masa lampau.
Maka dalalm proyek pembaharuan
tradisi Hasan Hanafi memberikan landasan teoritis dengan meletakkan model garis segitiga.
Masyarakat Isalm berasa dalam tiga lingkup: tradisi masa lampau yang diwakili
oleh tradisi Islam masa lampau dan ini disebut dengan Turats al-ana,
tradisi barat disebut Turats al-akhar,dan realitas kekinian yang
lansung dan sedang dihadapi oleh setiap individu dan kita berada ditengah.
Disaat yang sama ketiganya melingkupi kita. Tradisi
masa lampau hadir dalam realitas kehidupan kekinian kita sebagai suatu warisan
(al-mauruts) dan tradisi barat sebagai tamu (al-wafid).
Ketiga hal tersebut disederhanakan oleh Hanafi menjadi pemikiran(al-fikr) dan
realitas (al-waqi’) . kehadiran tradisi masa lampau sebagai tradisi
diri sendiri dan barat sebagai tradisi orang lain di tengah kehidupan yang
tidak dapat ditolak.
Baik al-akhar maupun al-ana tidak
dapat menafikkan realitas kekinian. Usaha untuk membangun tradisi masa lampau
yang juga memasuki tantangan realitas kekinian dapat membantu westernisasi dimana
pada saat yang sama terjadi dalam realitas sekarang. Rekonstruksi tradisi masa
lampau tidak akan tercapai kecuali harus mengerti tradisi lawannya (tradisi
barat) demi kemaslahatan umum. Sementara mensikapi tradisi barat secara kritis
dapat membantu dalam berpijak pada tradisi itu sebdiri sebagai
alternatif untuk melarikan diri darinya, dan mengeksplorasi kembali tradisi
lama ketimbang harus meninggalkannya. Ketika tantangan kontemporer itu
merupakan realitas kekinian yang didalamnya dibangun kedua tradisi secara
bersamaan.
Oleh karena itu menurut Hasan Hanafi ada tiga cara
yaitu: menganalisa pembentukan dan latar belakang tradisi, mengamati pembekuan
dan pensakralan tradisi, dan mencermati bagaimana tradisi itu berlawanan dengan
kemaslahatan umum.
Sementara itu Marxisme klasik mengalami kegagalan
dengan tidak mengakar dalam kesadaran masa yang buta huruf, kecuali
bagi elit intelektual. Marxisme diterapkan tanpa adanya penyesuaian dengan
keadaan dan kesadaran masyarakat Muslim. Seerta tidak adanya kajian mendalam
tentang struktur masyarakat dan perubahan sosial, maka yang terjadi adalah
pilihan coup d’etat dalam proses-proses sosial politik.
Ritualisme kesukuan atau Fundamentalisme Islam dalam
kategori Barat gagal mempertahankan aturan-aturan politik
Islam dan dalam mendirikan negara. Hal ini terjadi karena Islam di ubah menjadi
sekedar ritual tanpa gagasan mengenai sistem sosial, ekonomi, dan politik yang
komprehensif. Ritualisme hanya menjadin mistifikasi sebagai topeng ambisi
politik yang bersifat kesukuan atas nama reformasi agama. Seperti
wahabisme yang pada kenyataannya, justru menimbulkan penindasan kemanusiaan.
Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi
tradisional , Hanafi menegaskan perlu mengubah orientasi perangkat konseptual
sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan sosial-politik yang
terjadi. Teologi tradisional menurut Hanafi lahir dalam konteks sejarah ketika
inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh
wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan
untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemuniannya.
Sebuah karya Hanafi “Dari Akidah ke Revolusi” dengan
keadaan sosial masyarakat yang dalam kondisi memprihatinkan. Para penguasa
meletakkan pada rakyat segala jenis nilai yang dapat menopang segala ambisi
mereka untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Rakyat merasa bingung karena
tingkah penguasa tersebut.
Sampai munculah kaum muslimin , yang dikagumi,
pemberani, pejuang agung, yang berjuang untuk mewujudkan tanggung
jawab terhadap generasinya guna membantu para ulama dalam merealisasikan
Nasihat-nasihatnya, mengemban tanggung jawab pengembangan akidah, serta implikasinya
terhadap ilmu ilmiah, membimbing prilaku rakyat banyak dan merumuskan hubungan
akidah dan kekuasaan. Dimana para penulis tidak lagi menjilat Sultan maupun
penguasa politik. Namun mereka membela kepentingan rakyat dan melawan para
penguasa.
Para ahli kalam klasik telah membela eksistensi Allah,
dengan asumsi bahwa peersoalan ketuhanan merupakan hal yang rawan dan sering
mendapat serangan. Sedang kita saat ini membela Bumi, karena Bumi merupakan
tempat kita berpijak, tempat mengembangkan sayap, dan kekayaan alam yang
melimpah. Allah dalam nash Al-Quran mengatakan bahwa Dia adalah “Tuhan langit
dan Bumi” pemelihara langit dan bumi, “Dialah Tuhan yang di Langit dan di
Bumi”.
Tauhid itu jihad dan penaklukan. Yang merupakan
prinsip Islam yang Utama. Sungguh telah terkoyak-koyak kaum muslimin, Bumi
mereka diduduki, kekayaaan alam dirampas, kehormatan mereka dinodai, wanita dan
anak-anak mereka dibunuh, danputra-putra mereka disembelih. Dari akidah ke
revolusi merupakan teologi yang berwatak pembaharuan. Rumusan dari akidah
ke revolusi merupakan satu-satunya bahasan yang memuatkan perhatian kepada
persoalan akidah dalam mengunbah kehidupan mannusia, wawasan, dan pola
kehidupan, dalam rangka mengubah pranata sosial, politik dan mengembalikan
sistem tauhid.
Fenomena kemusyrikan yang terjadi dalam kehidupan
manusia cukup beragam tidak hanya menziarahi makam para wali dan Nabi, memakai
jimat, memelihara sihir, mengambil berkah para kuncen dan lain-lain. adpula
yang syirik dalam bidang muamalah yang terdiri dari masyarakat kaya dan miskin,
para penguasa dan para penjilat penguasa, dimana kelompok manusia mengira
kelompok lain berkuasa atas dirinya, sehingga berusaha memuji, menyanjung,
sehingga merasa takut dan diam saja atas perlakuan yang dilakukan dengan mementingkan
keselamatan dirinya.
Ketika Umat terdiri dari kelompok-kelompok dan
berpartai-partai, dalam perjuangan Nasional mereka. Ssehingga mendorong
perubahan sosial, khususnya diantara para pembela tradisi dan pendorong
modernisasi. Antara golongan yang bercorak salaf dan golongan yang berorientasi
sekular. Sebagai ganti saling mengkafirkan, meyerang kekuasaan, dan menjauhi
satu sama lain. Maka “dari Akidah ke Revolusi” ini berusaha
mempertemukan berbagai sayap Umat. Yang memungkinkan khazanah kaum salaf dapat
diarahkan untuk mencari solusi bagi penyelesaian problem utama bagi masyarakat
modern. Sebagai mana dasar-dasar ide sekular seperti liberalisme, Sosialisme,
dan Nasionalisme dapat diwujudkan dari warisan khazanah intelektual dan jiwa
umat itu sendiri.
b.
Oksidentalisme : Menantang Barat
Oksidentalisme merupakan lanjutan dari realitas dan
proyek kiri Islam sebagai proyek peradaban untuk menentang hegemoni
Barat. Concern dari oksidentalisme adalah mempersoalkan
kesentralan peradaban Barat; menggugat dualisme antara pusat dan pinggir pada
tingkat peradaban; mengembalikan keseimbangan peradaban manusia, dengan
menelanjangi secara kritis kesadaran Barat-Eropa; meluruskan konsep
ke-Internasionalalisasian budaya Barat; dan pada akhirnya meng akhiri mitologi
kebesaran peradaban Barat.
Menjadikan Barat sebagai subyek berarti menceburkan
identitas diri sendiri kedalamnya, dan ini bahya karena akan tercabut dari akar
kediriannya. Hanafi menyatakan kita perlu menjaga identitas dari kepunahan yang
disebabkan oleh weternisasi. Untuk itu ada beberapa hal yang mesti
diperhatikan:
1.
Qur’an melarang untuk membebek pada oranglain, terutama non muslim, karena
mereka adalah musuh Islam yang akan memberangus identitas diri kita
2.
Kita harus membuang budaya ikut-ikutan (taqlid)
3.
Kita harus meneladani kembali pemikiran Islam klasik yang mampu menciptakan
budaya besar tanpa kehilangan identitas.
4.
Kita harus tetap memegang dan mengembangkan budaya kritik, meskipun
faktanya pemikiran Islam banyak diwarnai oleh budaya barat.
5.
Memperhatikan gerakan Isalm sekarang yang ada di Barat
6.
Meneladani sikap para pendahulu yang gigih mempertahankan diri dari
serangan luar.
Praktek Oksidentalis pernah Terjadi pada abad
pertengahan, pada saat itu Islam bertemu dengan peradaban Yunani Kuno yang dalam
secarah dinamakan masa kodifikasi. Pada saat itu Islam menjadi subyek untuk
mengkaji peradaban Yunani. Menurut proses berlangsungnya secara gradual lewat:
1.
Penerjemahan yaitu dengan memperhatikan bobot muatan makna daripada lafadz
untuk di trasfer kedalam bahasa Arab.
2.
Pensyarahan yaitu dengan memperhatikan objek untuk dijelaskan struktur
kandungan lafsdz dan makna secara beragam.
3.
Rangkuman yaitu dengan mengambil inti pemikiran tanpa mengurangi
sedikitpun.
4.
Menyusun kembali peradaban al-wafid (peradaban tamu)
dengan menjelaskan dan menyempurnakannya.
5.
Menyusun objek-objek peradaban al-wafid dengan
mendialogkan pada peradaban yang dimiliki
6.
Melakukan kritik terhadap budaya al-wafid dengan meletakkan posisi dan
mengembalikan pada lingkungan
7.
Menolak teks al-wafid dengan mempertanyakannya.
Menurut Hasan Hanafi hasil yang ingin dicapai dari
Oksidentalisme adalah menguasai kesadaran Barat-Eropa sebagai realitas yang
inhistoris antara lain: mengembalikan pada batas kealamiahannya dan mengakhiri
perang peradaban serta mengembalikan filsafat Eropa pada tempatnya;
mengeksplorasi genuine budaya lokal dari setiap peradaban
masyarakat; melapangkan kreatifitas diri masyarakat dan membebaskan dari tipuan
Nalar; melapangkan peoses kreatifitas efektif untik mengurangi budaya konsumtif
sehingga mampu menguasai yang lain; menulis kembali sejarah peradaban dunia
secara seimbang; memulai babak baru filsafat sejarah dengan berangkat dari
timur; mengakhiri orientalisme dan menjadikan sebagai objek;
menjadikan oksidentalisme sebagai ilmu yang cermat; membentuk kelompok pakar
pengkaji nasional yang memperhatikan peradabannya sendiri dari cara pandang
tempat ia tinggal; membentuk generasi baru yang dapat disebut dengan para
filosof; melakukan pembebasan diri dari pijakan ontologis kediriannya, bukan
sekedar pengetahuan serta menciptakan babak baru dunia kemanusiaan yang
berdasarkan pada persamaan dan unsur-unsur etnisitas.
Agenda pertama, sikap lita terhadap tradisi lama,
dapat membantu mengenhtikan westernisasi sebagai upaya rekontstruksi, untuk
menghilangkan keterasingannya. Sementara itu kalangan elit terpisah dari
tradisinya karena tiddak menemukan dirinya dalam tradisi tersebut,
dan karena tidak menguasai bahasa lama, sehingga ia tidak mengubah tingkat
westernisasinya bahkan menerima penetrasi pemikiran Barat kedalam tradisi umat
dan elemen utamanya menjadi suatu keharusan yang tidak dapat dihindari sehingga
mengakibatkan pertikaian antara kelompok pembela Ortodoks dan kelompok pembela
Modern. Dengan adanya sikap terhadap tradisi lama untuk menghapuskan
keterpecahan kepribadian bangsa, keterputusan ironis, dan kebudayaan tanah air.
C. METODE PEMIKIRAN HASAN HANAFI
Hanafi merupakan pemikir yang akrab dengan tradisi
filsafat Marx. Pandangan populistik-sosialistik-nasionalistik yang pada
dasawarsa 60-an menjadi pandangan yang mendominasi negara-negara
Arab, yang menjadi ideologi pan-Arabisme, telah mewarnai pemikirannya. Sehingga
tak heran apabila Hanafi mencita-citakan persatuan umat Islam sebagaimana yang
diperjuangkan al-Afghani. Ia menggunakan metode dialektika dalam
mensistematisasikan pengetahuan dan pengalamannya ke dalam satu keutuhan yang
inklusif.
Dalam pemikiran Hasan Hanafi, Metode tersebut
dipakai ketika menentukan titik pijak dalam melakukan pembaharuan tradisi.
Menjelaskan posisi kita ditengah tiga realitas : tradisi masa lampau, tradisi
barat, dan realitas kontemporer. Tradisi itu menurutnya hanya bisa dijelaskan
dengan sejarah, mengetahui susunan dan akarnya dan kemudian menfingsikannya
untuk melakukan transformasi sosial.
Dalam proyek pembaharuan Hanafi memfungsikan agama
sebagai spirit gerak menuju keluar. Agama memberikan spirit pembebasan manusia.
Ia bergerak dari seperangkat aturan normatif (Akidah) Menuju praksis. Bahkan
agama memberikan semangat revolusioner, dalam menangkap semangat ini Hanafi
memahami kembali teks-teks untuk lebih mendapatkan legitimasi bagi
proyek pembaharuannya, karena bila tidak demikian maka kita akan terserabut
dari akar dan identitas diri sendiri. Dan ia pun melakukan kritik
internal. Dari sisnilah kita dapat mengatakan kalau Hanafi menggunakan
Hermeneutika sebagai pisau bedah untuk merealisasikan semua itu.
Persentuhaan Hasan Hanafi dengan tradisi filsafat
eropa, mngekibatkan dirinya tidak bisa menghindarkan dirinya untuk tidak
menggunakan fenomenologi. Fenomenologi ini digunakan Hanafi untuk menghindari
membahas metafisis yang tidak memiliki relevansi lagi untuk menggambarkan
realitas Manusiawi dan realitas ilahi.
D. Hermeneutika Al-Qur‘an
1) Diskursus Kontemporer
Hermeneutika pada mulanya merupakan pembicaraan
mengenai metode penafsiran terhadap teks-teks, khususnya kitab suci. Yang
kemudian barulah hermeneutika direfleksikan secara filosofis menjadi
metode-metode penafsiran dalam disiplin Ilmu sosial dan humaniora.
Dengan berkembangnya Filsafat kearah post Modernisme,
hermeneutika mulai berperan sebagai salah satu disiplin yang sangat kritis
terhadap metodologi pemahaman teks dan realitas. Hermeneutika bukan lagi
sekedar teori penafsiran akan tetapi menempatkan diri sebagai kritikus metode
penafsiran. Hermeneutika berubah menjadi “metateori tentang teori
interpretasi”, tidak lagi terbatas pada metode apa yang valid untuk mencapai
kebenaran penafsiran. Hermeneutika mulia merambah dan meneliti fenomena apa
yang terjadi dalam penafsiran, faktor-faktor apa yang melahirkan sebuah
kesimpulan dalam penafsiran, menyidik cara-cara munculnya sebuah penafsiran
sehingga dianggap sebagai kebenaran, seerta mendekonstruksi acuan dari
kebenaran-kebenaran yang selama ini dipercaya dengan cara
mengkritisi dasar-dasar epistemologis dan ontologis yang menopangnya.
Hermeneutik merupakan sebuah metode dengan membaca
teks, yang di awali dengan disertasinya di Sorbone yang berupaya untuk
memperlihatkan tindakan hermeneutis sangat penting bagi transisi politik dari
tradisionalisme ke modernisme. Makna yang dihasilkan dari pertemuan kontekstual
antara teks dan manusia sebagai binatang politik, dalam konteks sosial politik
dimana teks tersebut dihasilkan, dibaca dan digunakan. Pendiriannya dalam
hermeneutika hampir sama dengan Edward Said. Ketika teks kembali dibaca dan
ditafsirkan dari suatu generasi disuatu tempat kegenerasi berikutnya di tempat
yang lain. Maka makna yang terkandung akan diproduksi ulang oleh individu dan
kelompok masyarakat. Sesuai keadaan dan tempat dimana pembaca tersebut berada.
Meskipun Hanafi dipandang sebagai Intektual paling
radikal dalam abad ini. Di lain pihak beliau memiliki sebagian
agenda kaum tradisionalis. Dimana Hanafi mnecoba mempertahankan tradisi
tekstual Islam dan struktur isinya sekarang dengan menyerahkan kembali teologi
Kalam Islam dalam konteks Modern. Dalam pembaharuan Ilmu Kalam penekanannya
mencerminkan semangat Muhammad Abduh dan Sayyid Ahmad Khan lebih banyak dari
pemikir lainnya. Bagi Hanafi Kalam lebih dari sekedar simbol Rasionalime. Kalam
adalah Tradisi Tekstual yang harus dibaca Ulang mengingat situasi Islam saat
ini di Dunia Islam. Yang diharapkan kemudian dapat memberikan makna yang
relefan dan sesuai dengan keadaan yang ada.
Perhatian pemikir Muslim Modern terhadap
problem penafsiran Al-Quran yang kian meningkat seiring kesadaran mereka dengan
modernitas. Kesadaran tersebut menciptakan model-model penafsiran yang memadai
terhadap Al-Quran dengan bantuan kesadaran dan beragam metode ilmiah yang
tersedia. Dengan adanya Instrumen metodologis tersebut diharapkan penafsiran
Al-Quran yang mampu merasionalkan doktrin yang ditemukan dalam Al-Quran dan pada
saat yang sama mendemitologisasi berbagai pemahaman mistik dan metafisik di
sekitar penafsiran Al-Quran.
Masuknya beberapa gagasan dan metode ilmiah kedalam
wacana penafsiran Al-Quran bukan tanpa masalah. Teutama jika mengaitkan
beberapa unsur asing terhadap kedalam Al-Quran, seperti yang sering dicurigai
oleh Fazlur Rahman. Sehingga tidak aneh bila ada tuduhan bahwa mayoritas
modernis Muslim menafsirkan Al-Quran bukan untuk memahami makna
sejati. Melainkan untuk mencapai tujuan ekstra Qurani untuk menghilangkan
kesenjangan intelektual antara komunitas Muslim dan penemuan-penemuan Barat.
Permasalalan tersebut menjadi dilema tersendiri bagi
para pemikir Muslim, karena di satu sisi, mereka berkewajiban menafsirkan
Al-Quran sesuai dengan tuntutan ilmiah dan objektif. Sementara disisi lain,
terdapat kepentingan moral untuk menjelaskan Al-Quran sejalan dengan kebutuhan
umat islam saat ini. Dan dua hal tersebut melainkan seperti dua sisi mata uang
yang saling melengkapi. Karena kesadaran para pemikir Muslim terhadap realitas
kekinian dan pemenuhan standar ilmiah dalam penafsiran Al-Quran
sehingga menghasilkan tulisan-tulisan yang dikembangkan oleh para pemikir
Muslim Kontemporer. Minat para penulis tersebut mewakili arus ketidak
puasan hermeneutika tradisional Al-Qur‘an yang cenderung historis dan tidak
kontekstual lagi.
Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut tersebut, para
pemikir Muslim modern dapat dibedakan kedalam dua kategori:pertama, mereka
yang berangkat dari titik tekan yang rendah, yang hanya berupaya menjelaskan
makna-makna teks secara objektif dan baru kemudian dilanjutkan realitas
kekinian untuk kontekstualisasinya.Kedua, yakni mereka yang
berusaha menafsirkan berangkat dari realitas kontemporer umat Islam menuju
pemahaman yang sesuai dengan ajaran-ajaran yang mungkin diperoleh dari
penafsiran Al-Quran. Kategori pertama diwakili oleh: Fazlur Rahman, Mohammed
Arkoun, dan Nash Abu Zayd. Sedangkan kategori kedua diwakili oleh Farid Esack,
Asghar Ali Engineer, dan Amina Wadud-Muhsin.
Dari hal diatas dapat diketahui bahwa Hermeneutika
senantiasa beranjak dari dua pijakan:
Pertama, hermeneutika pertama-tama berurusan dengan refleksi
atas fenomena penafsiran sebelum berurusan dengan metode dan pristiwa
penafsiran apapun. Kedua,dalam kegiatan penafsiran, seorang
penafsir selalu didahului oleh persepsinya terhadap teks yang
disebut sebagai prapaham. Prapaham tersebut muncul karena seorang penafsir
senantiasa dikondisikan oleh situasi dimana ia terlibat dan sekaligus
mempengaruhi kesadarannya.
Namun seperti apapun Usaha yang dilakukan oleh para
penafsir tidak bisa menafsirkan Al-Qur’an yang sepenuhnya Objektif. Mengingat
setiap penafsiran memuat sejumlah pilihan yang subyektif sifatnya. Hal ini
disebabkan setiap interpretasi berusaha menggambarkan Maksud teks, namun
bersamaan dengan itu, mengandung prior text berupa persepsi,
keadaan, dan latar belakang dari orang yang membuat interpretasi. Prior
text ini makintidak terhindarkan sebab ia merupakan bahasa dan konteks
budaya dimana teks tersebut ditafsirkan.
Dalam proses pemahaman Al-Quran tidak akan bisa
terlepas dari sejarah, tradisi Setiap kegiatan penafsiran adalah suatu
partisipasi dalam proses kebahasaan yang menyejarah, potongan tradisi, dan
partisipasi ini terjadi dalam waktu dan tempat yang partikular. Keterlibatan
kita dengan Al-Quran juga pasti terjadi dalam penjara ini, kita
tidak bisa membebaskan diri dari , dan meletakkannya di luar, bahasa,
kebudayaan, dan tradisi.
Dalam penafsiran Al-Quran ini Hasan Hanafi menawarkan
sebuah cara baca baru terhadap teks (Hermeneutika teks) Al-Quran dengan stessing
point pada dimensi-dimensi liberasi dan emansipatoris dari Al-Quran.
Hanafi berusaha menyajikan sebuah cara baru dalam
menafsirkan teks (Al-Quran dan tradisi) dalam hubungannya dengan realitas,
dengan mencoba menarik kembali teks kepada pendasarannya yaitu realitas.
Sebagai mana Al-Quran misalnya yang tidak akan turun tanpa kaitan yang jelas
dengan kepentingan masyarakat masa Nabi. Masalahnya adalah bagaimana
mengembalikan teks Al-Quran tersebur kepada referencinya pada realitas.
Sementara teks tidaklagi memadai sekedar dirujuk dengan masa lalu yang menjadi
sebab turunnya ayat tersebut.
Sebagai teks Al-Quran kini berhadapan dengan realitas
umat islam kontemporer yang penuh persoalan sosial dan kemanusiaan. Untuk itu
perlu dilakukan penafsiran hermeneutika yang melampaui penafsiran-penafsiran
klasik terhadap teks Al-Quran. Kareana diyakini penafsiran kontemporer lebih
mampu menampilkan dimensi-dimensi humanistik dari Al-Quran yang selama ini
bersembunyi dibalik kekakuan teks-teks yang bernuansa teologis.
2) Hermeneutika pembebasan
Hermeneutika merupakan sebuah metode yang dilakukan
Hanafi sebagai suatu upaya yang dilakukan untuk melakukan pembaharuan dalam
penafsiran, yang selama ini belum mampu membaca keadaan relita umat Islam.
Hermeneutika pada dasarnya adalah suatu metode atau
cara untuk menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlukan
sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya, di mana metode hermeneutika ini
mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami,
kemudian dibawa ke masa sekarang. Hermeneutika tidak hanya memandang teks dan
berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Lebih dari itu ia berusaha
menggali makna dengan mempertimbangkan horizon-horizon yang melingkupi teks
tersebut. Horizon yang dimaksud adalah horizon teks, horizon pengarang dan
horizon pembaca. Untuk memperoleh makna yang konprehensif, diperlukan adanya
pengolahan teks, dan konteksnya juga diteruskan ke kontekstualisasi sebab
seseorang penafsir masih memiliki tanggung jawab menyampaikan pemahaman yang
diperoleh terhadap orang lain di masanya.
Sebagai sebuah metodologi penafsiran, hermeneutika
terdiri atas tiga bentuk atau model, yaitu; Pertama, hermeneutika objektif yang
dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrick Schleiermacher
(1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Emilio Betti (1890-1968). Menurut
model pertama ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang dipahami
pengarangnya, sebab apa yang disebut teks, menurut Schleiermacher, adalah
ungkapan jiwa pengarangnya, sehingga seperti juga disebutkan dalam hukum Betti,
apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan
kita melainkan diturunkan dan bersifat instruktif. Penafsir harus keluar dari
tradisinya sendiri untuk kemudian masuk kedalam tradisi dimana si penulis teks
tersebut hidup, atau paling tidak membayangkan seolah dirinya hadir pada zaman
itu. Sedemikian, sehingga dengan masuk pada tradisi pengarang, memahami dan
menghayati budaya yang melingkupinya, penafsir akan mendapatkan makna yang
objektif sebagaimana yang dimaksudkan si pengarang.
Kedua, hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh
tokoh-tokoh modern khususnya Hans-Georg Gadamer (1900-2002) dan Jacques Derida
(l. 1930). Menurut model kedua ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna
objektif yang dimaksud si penulis seperti yang diasumsikan model hermeneutika
objektif melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri. Stressing
mereka adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan pada ide awal si
penulis. Inilah perbedaan mendasar antara hermeneutika objektif dan subjektif.
Dalam pandangan hermeneutika subjektif, teks bersifat terbuka dan dapat
diinterpretasikan oleh siapapun, sebab begitu sebuah teks dipublikasikan dan
dilepas, ia telah menjadi berdiri sendiri dan tidak lagi berkaitan dengan si
penulis. Karena itu, sebuah teks tidak harus dipahami berdasarkan ide si
pengarang melainkan berdasarkan materi yang tertera dalam teks itu sendiri.
Seseorang harus menafsirkan teks berdasarkan apa yang dimiliki saat ini (vorhabe),
apa yang dilihat (vorsicht) dan apa yang akan diperoleh kemudian (vorgriff).
Dalam konteks keagamaan, teori hermeneutika subjektif ini berarti akan
merekomendasikan bahwa teks-teks al-Qur`an harus ditafsirkan sesuai dengan
konteks dan kebutuhan kekinian, lepas dari bagaimanarealitas historis dan asbâl
al-nuzûl-nya dimasa lalu.
Ketiga, hermeneutika pembebasan yang dikembangkan oleh
tokoh-tokoh muslim kontemporer khususnya Hasan Hanafi (l. 1935) dan Farid Esack
(l. 1959). Hermeneutika tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau metode
pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi. Menurut Hanafi, dalam kaitannya
dengan al-Qur`an, hermeneutika adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf
sampai kenyataan, dari logos sampai praksis, dan juga tranformasi wahyu dari
pikiran Tuhan kepada realitas kehidupan manusia. Hermeneutika sebagai sebuah
proses pemahaman hanyamenduduki tahap kedua dari keseluruhan proses
hermeneutika. Hermenutika pembebasan inilah yang menjadi fokus kajian lebih
lanjut dalam makalah ini.
Hasan Hanafi lebih dikenal sebagai filusuf dibanding
hermeneut, apalagi sebagai seorang Mufassir. Namun sebagai sarjana yang matang
dalam pemikiran Barat dan filsafat hukum Islam, Hasan Hanafi tidak
tanggung-tanggung dalam eksperimentasi hermeneutika Al-Qur‘annya. Ia membangun
pemikiran Hermeneutisnya diatas empat pilar. Dari khazanah klasik, ia
memilih Ushul Fiqh,sementara fenomenologi, Marxisme, disamping
hermeneutika itu sendiri, dari tradisi intelektual Barat.
Dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman klasik, hermeneutika
Al-Qur‘an Hasan Hanafi sengaja memanfaatkan landasan Ushul Fiqh sebagai titik
tolak. Sebab adanya keterkaitan antara kegiatan penafsiran di satu sisi, dan
proses pembentukan hukum di sisi lain. Ushul fiqh berusaha merumuskan hukum
dalam menghadapi tuntutan realitas sosial, maka jelas Ushul fiqh kompatibel,
dengan kepentingan hermeneutika pembebeasan Hanafi yang berbicara tentang
kebutuhan dan kepentingan kaum muslimin dalam menghadapi berbagai permasalahan
kontemporer mereka.
Penafsiran tersebut dilakukan Hanafi karena ia melihat
ilmu tafsir selama ini berpatokan pada periwayatan, dan belum muncul penafsiran
yang sesuai realitas umat Islam dan pembacaan terhadap kondisi masyarakat dalam
teks-teks Al-Qur‘an. Hanafi mengkritik tafsir klasik yang mengikuti pola
analisis-teoritis, baik itu metode Bil ma’sur ataupun bi
ra’yi maksdunya seorang penafsir tidak lebih dari seorang penjelas
yang menyimpulkan makna dari teks dengan akalnya yang murni kemudian mencarikan
dalil baik itu dalil naqli maupun argumen aqli.
Hanafi menyayangkan belum adanya tafsir yang
berlandaskan relitas dan pembacaan atas kondisi masyarakat Islam dalam sinaran
teks-teks Al-Qur‘an. Namun demikian Hanafi memberi pengecualian terhadap
beberapa tafsir spserti, al-Manar(muhammad Abduh dan Rashid Rida),
Turjuman Al-Quran(Abu Al-A‘la al-Maududi), Fi Zhilal Al-Qur‘an(Sayyid Qutub), . Namun
belum ada hingga kini, tafsir tematis yang mengumpulkan semua temayang serupa
yang kemudian merangkainya dalam bingkai yang komprehensif, dimana manusia
menempati posisi sentral. Akibat belum adanya tafsir tematis, hilanglah
kesatuan tematis dalam Al-Quran dan kita tidak bisa membaca kebutuhan kita
didalamnya, terutama tema-tema kemanusiaan dan sejarah.
Yang kemudian memunculkan sebuah metode alternatif
untuk para mufassir, yang berupa usaha untuk kembali kepada yang alami dan
natural yang dianggapnya sebagai sumber pemikiran. Hel demikian akan terwujud
dengan bebas dari penafsiran idealis, dan menancapkan kaidah-kaidah metode
ilmiah, serta lepas dari hambatan bahasa dan takwil.
Metode interpretasi Al-Quran memperjelas hubungan
antara tradisi dan pembaharuan, tersebut menyebutkan bahwa penafsiran itu
mencari mencari pemecahan atau solusi atas masalah, menceritakan sinopsis
ayat-ayat yang berkaitan dengan tema-tema dasar tertentu, dan membuatnya
sebagai analitis liguistik serta pengujian terhadap situasi faktual. Kemudian
penafsir tersebut membuat suatu perbandingan antara cita-cita dan
realita, setelah membentuk struktur, memberikan tema kualitatif dan
menganalisis situasi faktual, penafsir menggambarkan perbandingan antara
struktur dan cita-cita yang kesimpulannya ditarik dari analisis-isi dari teks
dan situasi faktual yang disebabkan oleh statistik dan ilmu pengetahuan sosial.
Penafsir berada diantara teks dan realita. Dan tahap terakhir dalam metode itu
adalah bahwa penafsir harus melakukan tindakan.
Sekali jarak terlihat antara dunia cita-cita dengan
dunia realita, antara penguasa surga dan penguasa Bumi, tindakan muncul sebagai
suatu tahap baru dalam proses interpretasi. Penafsirannya sendiri beralih dari
teks menuju tindakan, dari teori kepraktek...Langkah, waktu, usaha-usaha
terpadu yang bertahap diharuskan tanpa melompati tahapan-tahapan tersebut atau
menggunakan kekerasan. Realisasi lengkap dari cita-cita dan idealisasi realita
merupakan proses alami Reason dan Nature (akal/budi dan alam).
Concern Hasan Hanafi kepada agenda hermeneutika Alquran yang
dibangun atas dua agenda: persoalan metodis atau teori penafsiran dan persoalan
filosofis atau matateori penafsiran. Secara metodis, Hanafi menggariskan
beberapa langkah baru dalam memahami Alquran dengan tumpuan utama pada dimensi
liberasi dan emansipatoris Alquran. Sementara untuk agenda filosofis, Hanafi
telah bertindak sebagai komentator, kritikus, bahkan dekonstruktor terhadap
teori lama yang dianggap sebagai kebenaran dalam metodologi penafsiran Alquran.
Dalam membangun hermeneutika ala Hasan Hanafi, ia menggunakan
beberapa piranti besar, yaitu ushul fiqh, fenomenologi, marxis, dan
hermeneutika itu sendiri. Dengan menggunakan empat ingridients tersebut,Hasan
Hanafi membangun sebuah teori hermeneutika yang mampu mewadahi gagasan
pembebasan dalam Islam; tafsir revolusioner yang mumpuni menjadi landasan
normatif-ideologis bagi umat Islam untuk menghadapi segala bentuk represi,
eksploitasi, dan ketidakadilan, baik dari dalam maupun luar. Hasan Hanafi
mengusung hermeneutika yang lebih bersifat praksis dan mampu menyelesaikan
permasalahan-permasalahan kronis umat saat ini.
Karena Tafsir Klasik Al-Quran tidak lagi memberikan
makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan Umat Islam. Bahkan banyak sekali
penafsiran al-Quran yang terpelintir dan melenceng demi maksud-maksud politik.
Semantara klaim objektivitas dan paling benar selalu di kedepankan. Namun
kenyataan tidak memberikan solusi bagi permasalahan umat tetapi justru
menguntungkan pihak-pihak yang berkuasa dari pada membela yang
tertindas.
Berbeda dengan kecenderungan tersebut, Hermeneutika Al-Quran
merupakan cara baru penyajian dalam penafsiran Al-Quran, yang memberikan
kepentingan jelas bagi kemanusiaan dan perubahan sosial. Sebagai suatu solusi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hasan Hanafi merupakan salah seorang tokkoh
pembaharuan pemikiran dalam Islam, yang memberikan sumbangan pemikirannya
sebagai kontribusi yang diberikan kepada umat Islam. Adapun salah satunya
adalah.
Kiri Islam (al-Yasar
al-Islami)
Kiri Islam
merupakan gerakan Revolusi kebangkitan umat islam, mendapat seksenya dari
revolusi Iran. Kelanjutan dari al-Urwa al-Mutsqa dan al-Manar(Jamaluddin
al-Afghani). Sertra tampil sebagai tokoh reformis terhadap tradisi intelektual
islam klasik (sosok Muhammad Abduh). Ia
merupakan penyempurnaan agensda modern Islam yang mengungkap
realitas dan tendensi sosial politik. Yang berangkat dari perbedaan-perbedaan
yang ada pada umat Islam, yaitu antara yang miskin dan yang kaya, yang kuat dan
yang lemah, penindas dan yang tertindas, dan lain sebagainya.
Dalam Kiri Islam ada tiga agenda sebagai ideologi
revolusioner bagi kebangkitan Islam, yakni pembaharuan tradisi Islam masa
lampau, menantang peradaban Barat dengan mengusung oksidentalisme, dan
melakukan analitis realitas Dunia Islam.
Pembaharuan tradisi
Tradisi menurut Hanafi dapat ditenukan dalam berbagai
level. Pertama, tradisi itu dapat kita tenukan dalam berbagai bentuk tulisan, buku, manuskrip, atau lainnya
yang tersimpan di perpustakaan atau tempapt-tempat lain. Kedua, Tradisi
itu dapat ditemukan juga dalam rupa konsep-konsep, pemikiran, dan ide-ide yang
masih hidup dan hadir ditengah realitas. Kategori pertama lebih bersifat
matrialistik sedangkan yang kedua lebih bersifat abstrak. Namun demikian
keduaya tidak bisa dipisahkan dari realitas. Setiap tradisi mengusung semangat
zamannya, mencerminkan tahap perjalanan sejarah, ia bisa berubah-ubah dan
berganti-ganti , dan terbentuk sesuai generasi dan tantangan yanga ada pada
zamannnya.
Tradisi itu dapat berupa
Khazanah yang terpendam dalam jiwa masyarakat, yang secara sadar atau tidak mengarahkan
dalam prilaku keseharian. Oleh karena itu bukan tidak mungkin tradisi masa
lampau muncul lagi pada tradisi masa kini. Disinilah tradisi sebagai pandangan
hidup. Yakni, bisa saja kita hidup dizaman modern namun masih tetap berpijak
pada tradisi masa lampau.
Oksidentalisme : Menantang
Barat
Concern dari oksidentalisme adalah mempersoalkan kesentralan
peradaban Barat; menggugat dualisme antara pusat dan pinggir pada tingkat
peradaban; mengembalikan keseimbangan peradaban manusia, dengan menelanjangi
secara kritis kesadaran Barat-Eropa; meluruskan konsep
ke-Internasionalalisasian budaya Barat; dan pada akhirnya meng akhiri mitologi
kebesaran peradaban Barat.
Hermeneutika Al-Quran
Hanafi berusaha menyajikan sebuah cara baru dalam
menafsirkan teks (Al-Quran dan tradisi) dalam hubungannya dengan realitas,
dengan mencoba menarik kembali teks kepada pendasarannya yaitu realitas.
Sebagai mana Al-Quran misalnya yang tidak akan turun tanpa kaitan yang jelas
dengan kepentingan masyarakat masa Nabi. Masalahnya adalah bagaimana
mengembalikan teks Al-Quran tersebur kepada referencinya pada realitas.
Sementara teks tidaklagi memadai sekedar dirujuk dengan masa lalu yang menjadi
sebab turunnya ayat tersebut.
Sebagai teks Al-Quran kini berhadapan dengan realitas
umat islam kontemporer yang penuh persoalan sosial dan kemanusiaan. Untuk itu
perlu dilakukan penafsiran hermeneutika yang melampaui penafsiran-penafsiran
klasik terhadap teks Al-Quran. Kareana diyakini penafsiran kontemporer lebih
mampu menampilkan dimensi-dimensi humanistik dari Al-Quran yang selama ini
bersembunyi dibalik kekakuan teks-teks yang bernuansa teologis.
DAFTAR PUSTAKA
Esposito, John L. (ed), 2001, Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Bandung: Penerbit Mizan,
Eposito, John L.-John O. Voll, TT, Tokoh-Kunci Gerakan
Kontempore, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Fahmi Salim, 2010, kritik terhadap studi Al-Qur’an kaum Liberal, Jakarta:
Kelompok Gema Insani,
Faisol, M., Mengubah
Dunia Melalui Tradisi,dalam Religion and science, Vol. 2, No. 1, Juni 2006.
Hadi, Abd., Hermeneutika Qur’ani dan perbedaan pemahaman dalam
Menafsirkan Al-Qur’an, dalam Islamica, Vol.6 No.1, September 2011.
Hamid, Abdul dan Yaya, TT, Pemikiran Modern Dalam Isalm, Bandung:
Pustaka Setia.
Hambali, M. Rid}wan, TT, Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam
Timur Tengah, Jakarta: Mizan.
Hanafi, Hasan, Aku Bagian Dari Fundamentalisme Islam, Islamika,
Ciputat, 15 Februari 2006.
Kusna diningrat, E., Hasan
Hanafi: Islam Adalah Protes, Oposisi dan Revolusi,dalam Islamlib.com 01
Januari 2003.
Martin, Richard C. dkk, 2002, Post Mu’tazilah (genealogi Konflik
Rasionalisme dan Tradisionalisme Islam), Yogyakarta: Ircisod,
Mubasyaroh, Model Penafsiran H{asan H{anafi. dalam ADDIN,
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2011.
Nugroho, TT, TK,. Muhammad Adji, Hermeneutika Al-Qur’an Hasan
Hanafi (dari teks ke aksi: merekomendasikan tafsir tematik/maudhu’i.
Saenong, Ilham B., 2002, Hermeneutika Pembebasan (metodologi tafsir
al-Qur’an menurut Hasan Hanafi, Jakarta: Teraju.
Soepono, Kritik Hasan Hanafi Tentang Sufisme, dalam
At-Tahrir, Vol. 9, No. 2 Juli 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar