“ORGANISASI KELEMBAGAAN ISLAM
(OKI)”
OLEH :
Sahabat Ujang
A.
Latar Belakang
Organisasi konferensi islam, atau sekarang
disebut dengan organisasi kerjasama islam merupakan organisasi Negara-negara
Islam dan negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam yang dibentuk
sebagai reaksi terhadap pembakaran mesjid Al Aqsa oleh Israel pada tanggal 21
Agustus 1969 yang merupakan salah satu tempat suci umat Islam, selain Mekkah
dan Madinah serta bentuk penolakan terhadap pendudukan wilayah-wilayah arab
oleh Israel termasuk pula penguasaan atas Yerussalem semenjak tahun 1967.
B.
Asal Mula Organisasi Kelembagaan Islam
Organisasi
Konferensi Islam (OKI) merupakan organisasi internasional non militer yang
didirikan di Rabat, Maroko pada tanggal 12 Rajab 1389 H/ 25 September 1969.
Dipicu oleh peristiwa pembakaran Mesjid Al Aqsha yang terletak di kota Al Quds
(Jerusalem) pada tanggal 21 Agustus 1969 oleh pengikut fanatik kristen dan
yahudi di Jerusalem, telah menimbulkan reaksi keras dunia, terutama dari
kalangan umat Islam. Saat itu dirasakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk
mengorganisir dan menggalang kekuatan dunia Islam serta mematangkan sikap dalam
rangka mengusahakan pembebasan Al Quds.
Atas prakarsa Raja Faisal dari Arab Saudi dan Raja Hassan II
dari Maroko, dengan Panitia Persiapan yang terdiri dari Iran, Malaysia, Niger,
Pakistan, Somalia, Arab Saudi dan Maroko, terselenggara Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) Islam yang pertama pada tanggal 22-25 September 1969 di Rabat,
Maroko. Konferensi ini merupakan titik
awal bagi pembentukan Organisasi
Konferensi Islam (OKI).
OKI merupakan organisasi Negara-negara Islam
dan negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam yang dibentuk
sebagai reaksi terhadap pembakaran mesjid Al Aqsa oleh Israel pada tanggal 21
Agustus 1969 yang merupakan salah satu tempat suci umat Islam, selain Mekkah
dan Madinah serta bentuk penolakan terhadap pendudukan wilayah-wilayah arab
oleh Israel termasuk pula penguasaan atas Yerussalem semenjak tahun 1967.
Ø
Latar belakang dan sejarah terbentuknya OKI
Pendudukan
Israel atas wilayah-wilayah arab khususnya kota Yerusalem semenjak tahun 1967
telah menimbulkan kekawatiran bagi negara-negara arab dan umat Islam akan
tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan Israel terhadap wilayah pendudukannya
termasuk di Yerusalem yang didalamnya berdiri mesjid Al Aqsa. Pada tanggal 21
Agustus 1969 kekawatiran Negara-negara arab dan umat Islam terbukti dengan
tindakan Israel yang membakar mesjid Al aqsa. Pembakaran mesjid Al Aqsa
tersebut menimbulkan reaksi dari pemimpin negara arab khususnya Raja Hasan II
dari Maroko, menyerukan para pemimpin negara-negara arab dan umat Islam agar
bersama-sama menuntut Israel bertanggungjawab atas pembakaran mesjid Al Aqsa
tersebut Seruan Raja Hasan II dari Maroko mendapat sambutan dari Raja Faisal
dari Arab Saudi dan Liga Arab, yang langsung ditindaklanjuti dengan pertemuan
para duta besar dan menteri luar negeri liga arab pada tanggal 22-26 Agustus
1969 yang berhasil memutuskan :
•
Tindakan Pembakaran mesjid Al Aqsa oleh Israel merupakan suatu kejahatan yang
tidak dapat diterima.
•
Tindakan Israel tesebut merongrong kesucian umat Islam dan Nasrani serta
mengancam keamanan Arab.
•
Mendesak agar segera dilakukan Konfrensi Tingkat Tinggi negara-negara Islam.
Untuk merealisasikan hasil-hasil pertemuan
diatas kemudian dibentuklah panitia penyelenggara KTT Negara-negara Islam oleh
Arab Saudi dan Maroko berangotakan; Malaysia, Palestina, Somali dan Nigeria,
dan pada tanggal 22-25 September 1969 dilangsungkan Konfrensi Tingkat Tinggi
negara-negara Islam dihadiri 28 negara dan menghasilkan beberapa keputusan
penting diantaranya :
1. Mengutuk pembakaran mesjid Al Aqsa oleh
Israel
2. Menuntut pengembaliam kota Yerusalem
sebagaimana sebelum perang tahun 1967.
3. Menuntut Israel untuk menarik pasukannya
dari seluruh wilayah arab.
4. Menetapkan pertemuan menteri luar negeri
di Jeddah Arab Saudi pada bulan Maret 1970.
Ø
Secara umum
latar belakang terbentuknya OKI adalah sebagai berikut :
1.
Tahun
1964 : Pada Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) Arab di Mogadishu timbul suatu ide untuk menghimpun kekuatan Islam dalam
suatu wadah internasional.
2.
Tahun
1965 : Diselenggarakan Sidang Liga Arab
sedunia di Jeddah Saudi Arabia yang mencetuskan ide untuk menjadikan umat Islam
sebagai suatu kekuatan yang menonjol dan
untuk menggalang solidaritas Islamiyah dalam usaha melindungi umat Islam dari
zionisme khususnya.
3.
Tahun 1967
: Pecah Perang Timur Tengah melawan Israel. Oleh karenanya solidaritas Islam di
negara-negara Timur Tengah meningkat.
4.
Tahun 1968
: Raja Faisal dari Saudi Arabia
mengadakan kunjungan ke beberapa negara Islam dalam rangka penjajagan
lebih lanjut untuk membentuk suatu Organisasi Islam Internasional.
5.
Tahun 1969
: Tanggal 21 Agustus 1969 Israel merusak Mesjid Al Aqsha. Peristiwa tersebut
menyebabkan memuncaknya kemarahan umat Islam terhadap Zionis Israel.
Seperti telah disebutkan diatas, Tanggal 22-25 September 1969
diselenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara Islam di Rabat,
Maroko untuk membicarakan pembebasan kota Jerusalem dan Mesjid Al Aqsa dari
cengkeraman Israel. Dari KTT inilah OKI berdiri.
Akhir-akhir ini OKI mengubah namanya yang dari sebelumnya
Organisasi Konferensi Islam menjadi Organisasi Kerja Sama Islam pada tanggal 28
Juni 2011.
C.
Aktifitas Organisasi Konferensi Islam
Adapun kegiatan/Aktifitas yang dilakukan OKI
selalu dalam rangka memperjuangkan kepentingan umat Islam, negara-negara
anggota, memelihara perdamaian, ketentraman dan kesejahteraan dunia,
memperjuangkan kemerdekaan Palestina, baik dalam kegiatan politk, ekonomi dan
sosial budaya. Adapun tantangan yang dialami OKI sampai sekarang antara lain:
1. Meminimalisasi perbedaan orientasi politik
diantara negara anggota OKI
2. Mengubah dan menghapuskan salah penafsiran
dunia Barat terhadap Islam yang selalu negatif, seperti mengaikkan Islam,
dengan kegiatan Fundamentalis, Terorisme, dan kekerasan lainya.
3. Meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan
serta Solidaritas antar Anggota OKI.
4. Meningkatkan Kerjasama dalam berbagai bidang
untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat seluruh negara anggota OKI.
5. Mengupayakan terus-menerus agar kemerdekaan
dan kedaulatan rakyat Pelestina.
Ø
Anggota - Anggota OKI:
Organisasi Konfrensi Islam (OKI) pada saat
pembentukannya memiliki anggota 28 Negara dan terus mengalami pertambahan,
hingga dewasa ini anggota OKI berjumlah 46 negara yang berasal dari kawasan Asia
Barat, Asia Tengah, Asia Tenggara, Afrika. Negara-negara anggota OKI adalah :
Arab Saudi, Maroko, Aljazair, Bahrain, Libya, Mauritania, Djiboti, Mesir,
Suriah, Tunisia, Yaman, Yordania, Oman, Qatar, Somalia, Irak, Lebanon, Kuwait,
Uni Emirat Arab, Palestin, Afganistan, Bangladesh, Iran, Pakistan, Maladewa,
Turki,Azerbaijan, Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, Nigeria, Mali, Niger,
Senegal, Uganda, Siera Leone, Guinea issau, Gabon, Gambia, Chad, Comoros,
Camerun, Burkina Faso, Benin.
Ø
Struktur organisasi OKI
Struktur organisasi terdiri dari :
1.
Badan utama meliputi :
a.
KTT para raja dan Kepala negara/pemerintahan
b.
Sekretaris Jenderal sebagai badan eksekutif
c.
Konferensi para Menteri luar negeri
d.
Mahkamah Islam Internasional sebagai badan Yudikatif
2.
Komite-komite khusus, meliputi :
a.
komite Al-Quds
b.
komite social, ekonomi dan budaya
3.
Badan-badan subsider meliputi:
a.
Bidang Ekonomi terdiri dari:
·
Pusat Riset dan latihan sosial ekonomi berpusat di Ankara (Turki).
·
Pusat Riset dan latihan teknik berpusat di Dhakka (Bangladesh).
·
Kamar Dagang Islam berpusat di Casablanca (Maroko).
·
Dewan Penerbangan Islam berpusat di Tunis (Tunisia).
·
Bank Pembangunan Islam berpusat di Jeddah (Arab Saudi).
b.
Bidang Sosial Budaya terdiri dari:
o
Dana Solidaritas Islam berpusat di Jeddah (Arab Saudi)
o
Pusat Riset Sejarah dan Budaya Islam berpusat di Istambul (Turki).
o
Dana Ilmu, teknologi dan Pembangunan berpusat di Jeddah (Arab Saudi).
o
Komisi Bulan Sabit Islam berpusat di Bengasi (Libya).
o
Komisi Warisan Budaya Islam berpusat di Istambul (Turki).
o
Kantor Berita Islam Internasional berpusat di Jeddah (Arab Saudi).
Ø
Kerjasama
Multilateral Oki
a)
Peranan OKI
Melihat latar belakang terbentuknya OKI,
terdapat kesan bahwa organisasi ini bersifat dan bersikap lebih melayani
kepentingan Arab dan Timur Tengah. Kesan tersebut tidak dapat dipungkiri
sepenuhnya, karena :
Pertama, salah satu persoalan dan kemelut
dunia yang menjadi perhatian masyarakat internasional terjadi di kawasan Arab
dan Timur Tengah.
Kedua, dalam OKI persoalan Timur Tengah dan
Palestina terlihat lebih menonjol karena terkait didalamnya pembicaraan dan
desakan yang bernafaskan kepentingan agama dan umat Islam seluruh dunia. Perlu
diingat bahwa hampir separuh dari negara anggota OKI adalah negara-negara Arab.
Meskipun demikian, masalah-masalah
internasional lainnya semakin mendapat perhatian yang proporsional. Dalam
masalah politik, OKI memberi perhatian dalam konflik India – Pakistan, masalah
Afrika Selatan, Philipina Selatan, Afghanistan, dll.
Dalam bidang ekonomi telah dikumpulkan
"Dana Konsolidasi Program Pembangunan Dunia Islam". Hal ini untuk menunjang progaram-program
pembangunan negara anggota OKI.
Pengumpulan dana tersebut telah melahirkan
"Rencana Aksi untuk memperkuat kerjasama ekonomi diantara negara-negara anggota
OKI".
Selain
itu, dalam pengembangan sosial – budaya, OKI telah membentuk banyak Badan-Badan
Subsider seperti misalnya yang menangani masalah pendidikan, ilmu pengetahuan
dan teknologi, hukum, kebudayaan, yang tugasnya hampir menyerupai badan-badan
khusus PBB. Diantara badan-badan
subsider ini antara lain adalah : Komisi Internasional Peninggalan Kebudayaan
Islam yang menangani masalah-masalah yang menyangkut pemeliharaan hasil-hasil
budaya Islam yang ada di negara-negara Islam; Akademi Fikih Islam yang
bertujuan mempelajari masalah-masalah yang menyangkut kehidupan "ijtihad" yang berasal dari tradisi Islam; Komisi Hukum
Islam Internasional guna menyumbangkan kemajuan prinsip-prinsip Hukum Islam
beserta kodifikasinya; dll.
b)
Keanggotaan indonesia didalam OKI
Ø
Peranan Indonesia
Sesuai dengan Artikel VIII Piagam OKI yang
menyangkut keanggotaan dijelaskan bahwa organisasi terdiri dari negara-negara
Islam yang turut serta dalam KTT yang diadakan di Rabat dan KTM-KTM yang
diselenggarakan di Jeddah, Karachi serta yang menandatangani Piagam.
Kriteria yang dirancang oleh Panitia
Persiapan KTT I adalah bahwa "Negara
Islam" adalah negara yang konstitusional Islam atau mayoritas penduduknya
Islam. Semua negara muslim dapat
bergabung dalam OKI.
Keanggotaan Indonesia di dalam OKI adalah
unik. Pada tahun-tahun pertama, kedudukan Indonesia dalam OKI menjadi sorotan baik di kalangan OKI sendiri
maupun di dalam negeri. Indonesia menjelaskan kepada OKI bahwa Indonesia
bukanlah negara Islam secara konstitusional dan tidak dapat turut sebagai penandatangan Piagam. Tetapi Indonesia telah turut sejak awal dan
juga salah satu negara pertama dan yang turut berkecimpung dalam kegiatan OKI.
Kedudukan Indonesia disebut sebagai "partisipan aktif". Status, hak
dan kewajiban Indonesia sama seperti negara-negara anggota lainnya.
Sebagai negara yang berfalsafah Pancasila dan
sebagai negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, maka Indonesia
patut menyambut positif setiap usaha untuk meningkatkan derajat, status sosial
dan kesejahteraan serta kemakmuran umat Islam
seperti yang menjadi tujuan Konferensi, terutama dalam hal-hal yang
bermanfaat bagi usaha-usaha pembangunan dalam segala bidang yang merupakan
program utama Pemerintah Indonesia.
Selain untuk memperoleh manfaat langsung bagi
kepentingan nasional Indonesia, keikutsertaan Indonesia diharapkan dapat
menggalang dukungan bagi kepentingan Indonesia di forum-forum internasional
lainnya, baik yang menyangkut bidang
politik maupun bidang ekonomi dan sosial budaya.
Tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip yang
tertera dalam Piagam OKI menunjukkan semangat yang sejalan dengan prinsip Bandung dan Non Blok, khususnya dalam rangka
pengembangan solidaritas dan tekad menghapuskan segala bentuk kolonialisme
serta sikap tidak campur tangan di dalam urusan dalam negeri masing-masing
negara anggota.
Peranan Indonesia selama ini dinilai oleh
negara-negara anggota lainnya sangat positif dan konstruktif. Hal ini tidak
berlebihan jika dilihat bahwa banyak pertentangan kepentingan antara kelompok-kelompok
"progresif revolusioner" dengan kelompok "konservatif/moderat" dapat
dijembatani oleh Indonesia. Hal ini dimungkinkan antara lain oleh sikap tidak
memihak RI terhadap sengketa regional Arab.
Sebagai peserta, Indonesia telah berperan
secara aktif dalam OKI, baik dalam
kegiatannya maupun dengan sumbangan yang diberikan kepada organisasi ini dalam
rangka meningkatkan kesetiakawanan diantara anggota OKI, disamping untuk
membina kerjasama di bidang ekonomi, sosial budaya dan bidang-bidang lainnya
yang semuanya dilakukan dalam rangka menunjang pembangunan nasional Indonesia
di segala bidang.
Ø
Alasan masuknya Indonesia di dalam OKI
Pada KTT III tahun 1972 di Jeddah, Saudi
Arabia, Indonesia secara resmi menjadi anggota OKI dan turut menandatangani
piagam OKI. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Indonesia termasuk salah satu
negara anggota OKI pemula. Bahkan didalam pertemuan-pertemuan resmi, Indonesia
dianggap telah menjadi anggota OKI sejak tahun 1969.
Bagi Indonesia keterlibatannya didalam OKI
merupakan kesempatan yang baik dalam rangka pengembangan ekonomi/ perdagangan
diantara sesama negara-negara OKI terutama dalam kaitannya dengan kepentingan
pembangunan yang sedang berlangsung di Indonesia, khususnya dalam peningkatan
ekspor non migas.
Beberapa
alasan masuknya Indonesia di dalam OKI, antara lain :
a.
Secara obyektif, Indonesia ingin mendapatkan hasil yang positif bagi
kepentingan nasional Indonesia. Indonesia merupakan negara yang sebagian besar
penduduknya beragama Islam meskipun secara konstitusional tidak merupakan
negara Islam.
b.
Dari segi jumlah penduduk yang beragama Islam, maka jumlahnya merupakan
jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Indonesia menganut politik
luar negeri yang bebas dan aktif
sehingga dapat diterapkan dalam organisasi-organisasi internasional
termasuk OKI sejauh tidak menyimpang dari kepentingan nasional Indonesia.
Terdapat kesamaan pandangan antara OKI dan Indonesia, yaitu sama-sama
memperjuangkan perdamaian dunia berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab,
disamping kepentingan dalam bidang perekonomian dan perdagangan.
Ø
Kepentingan Indonesia didalam OKI
Menyangkut masalah politis dimana Indonesia
sebagai salah satu negara berkembang berpijak pada politik luar negeri yang
bebas dan aktif.
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, ikut menggalang solidaritas Islamiyah.
Menarik manfaat bagi kepentingan pembangunan Indonesia, khususnya dalam
kerjasama ekonomi dan perdagangan di antara negara-negara anggota OKI.
Ø
Perdagangan Indonesia dengan Negara Anggota OKI.
Perdagangan Indonesia dengan Negara-negara
anggota OKI masih relative kecil. Pada tahun 2002 total nilai ekspor non migas
sebesar US$ 45,046.07 juta hanya US$ 5,323.38 juta atau 11,82% yang merupakan
ekspor ke Negara OKI. Sedangkan pada tahun yang sama impor Indonesia dari
Negara OKI sebesar US$1,355.12 juta yang berarti surplus sebesar US$ 3,968.26
juta.
Sampai dengan bulan Oktober 2003 total nilai
ekspor non migas Indonesia sebesar US$
39,442.53 juta, dan untuk ekspor non
migas ke Negara OKI hanya sebesar US$ 4,697.22 juta. Dibandingkan dengan periode yang sama pada
tahun lalu maka terjadi peningkatan sebesar 4,26%.
*) Tahun 2003 s.d bulan Agustus
Impor
Indonesia dari Negara OKI selama periode Januari – Oktober 2003 sebesar US$ 1,185.03 juta atau meningkat
8,8% dibandingkan periode yang sama tahun 2002.
Dibandingkan
dengan total ekspor non migas Indonesia tahun 2003 (s/d bulan Oktober) sebesar
US$ 39,442.53 juta, maka ekspor ke Negara-negara OKI relative kecil. Kecilnya volume perdagangan diantara Negara
OKI antara lain disebabkan Negara-negara tersebut kurang memperoleh informasi
mengenai potensi sesama Negara anggota OKI. Selain itu, tidak semua anggota OKI
mempunyai kemampuan daya beli tunai, jadi ketika mereka terlibat dalam
transaksi perdagangan, mereka tidak mempunyai posisi tawar yang baik dan tidak
punya kesempatan memberi jangka waktu tenggang pembayaran. Di lain pihak, pihak
ketiga akan dengan mudah memperoleh modal dan membeli secara tunai dari Negara
OKI sebagai produsen kemudian menjual kembali kepada Negara OKI lain dengan
harga yang tinggi.
Oleh
karenanya, perlu peningkatan hubungan bilateral antara Indonesia dengan
Negara-negara OKI sebagai optimalisasi pelaksanaanJoint Economic
Commissionserta peningkatan kerjasama multilateral dengan meningkatkan
keikutsertaan pemerintah pada lembaga-lembaga lainnya.
Dalam
rangka mempromosikan potensi yang dimiliki, Indonesia melalui Badan
Pengembangan Ekspor Nasional, Depperindag telah menyelenggarakan berbagai
pameran di luar negeri antara lain di Sharjah pada bulan September 2003 dan di
Libya pada bulan November 2003.
D.
Strategi Dakwah Organisasi Konferensi Islam
Selanjutnya, sebelum melanjut pada strategi
dakwah oki , Tujuan OKI sendiri ialah:
1)
Memelihara dan meningkatkan solidaritas diantara negara-negara anggota
dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan politik dan pertahanan
keamanan.
2)
Mengkoordinasikan usaha-usaha untuk melindungi tempat-tempat suci.
3)
Membantu dan bekerjasama dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat
Palestina.
4)
Berupaya melenyapkan perbedaan rasial, diskriminasi, kolonialisme dalam
segala bentuk.
5)
Memperkuat perjuangan umat Islam dalam melindungi martabat umat, dan hak
masing-masing negara Islam.
6)
Menciptakan hubungan kerjasama yang harmonis, saling pengertian antar
negara OKI dan Negara-negara lain.
Ø
Tujuan Didirikannya OKI
Secara
umum tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk mengumpulkan bersama
sumber daya dunia Islam dalam mempromosikan kepentingan mereka dan
mengkonsolidasikan segenap upaya negara tersebut untuk berbicara dalam satu
bahasa yang sama guna memajukan perdamaian dan keamanan dunia muslim. Secara
khusus,OKI bertujuan pula untuk memperkokoh solidaritas Islam diantara negara
anggotanya, memperkuat kerjasama dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya
dan iptek.
Pada
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) III OKI bulan February 1972, telah diadopsi
piagam organisasi yang berisi tujuan OKI secara lebih lengkap, yaitu :
1)
rasial dan segala bentuk penjajahan;
Ø
Menciptakan Memperkuat/memperkokoh :
1)
Solidaritas diantara negara anggota.
2)
Kerjasama dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan iptek.
3)
Perjuangan umat muslim untuk melindungi kehormatan kemerdekaan dan
hak-haknya.
Ø
Aksi bersama untuk :
1)
Melindungi tempat-tempat suci umat Islam;
2)
Memberi semangat dan dukungan kepada rakyat Palestina dalam
memperjuangkan haknya dan kebebasan mendiami daerahnya.
Ø
Bekerjasama untuk :
2)
Menentang diskriminasi suasana yang menguntungkan dan saling pengertian
diantara negaraanggota dan negara-negara lain
Ø
Prinsip OKI
Untuk mencapai tujuan diatas, negara-negara anggota menetapkan 5
prinsip, yaitu:
1)
Persamaan mutlak antara negara-negara anggota
2)
Menghormati hak menentukan nasib sendiri, tidak campur tangan atas
urusan dalam negeri negara lain.
3)
Menghormati kemerdekaan, kedaulatan dan integritas wilayah setiap
negara.
4)
Penyelesaian setiap sengketa yang mungkin timbul melalui cara-cara damai
seperti perundingan, mediasi, rekonsiliasi atau arbitrasi.
5)
Abstein dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas
wilayah, kesatuan nasional atau kemerdekaan politik sesuatu negara.
Ø
Kiprah OKI dalam Dunia Internasional
Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi yang
juga menjabat sebagai Ketua Organisasi Konferensi Islam berpendapat, kekuatan
ekonomi negara-negara anggota OKI, menjadi salah faktor utama yang akan
menentukan posisi OKI di dunia internasional. Kekuatan ekonomi negara-negara
anggotanya yang akan menambah kekuatan OKI dan membuat suara OKI lebih
berpengaruh dalam pergaulan dunia internasional Berbagai permasalahn terus. Ada
satu hal yang menjadi perhatian serius para pakar. Yaitu reformasi OKI. Di
hadapan problema umat yang sedemikian kompleks ini, OKI sebagai organisasi
keislaman terbesar sedunia harus mereformasi diri hingga problem-problem itu
mendapatkan penyelesaian yang kontekstual.
Reformasi OKI tersebut setidaknya menyangkut
dua hal mendasar, yaitu visi dan keanggotaan. Dari segi visi, OKI sebenarnya
“berwajah” Islam politik. Sebab, OKI (secara historis) lahir (25/1969 di Rabat,
Maroko) untuk merespons peristiwa politik, yakni pembakaran Masjid Al-Aqsha
(21/8/1969) oleh ekstremis Yahudi.
Karena itu, bisa dipahami bahwa permasalahan
Palestina selalu menjadi agenda utama pada setiap pelaksanaan konferensi OKI.
Baik yang berbentuk konferensi tingkat tinggi (KTT), konferensi tingkat Menlu
(KTM), maupun konferensi luar biasa.
Pada titik itu, di satu sisi, OKI tidak
berbeda dari lembaga-lembaga politik berkelas dunia seperti Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) atau Liga Arab. Perbedaannya, OKI membatasi diri untuk
negara-negara berpenduduk Islam. Di sisi lain, OKI telah menjadikan Islam
sebagai kekuatan seperti gerakan Islamis lainnya selama ini.
Perbedaannya, OKI menjadikan Islam sebagai
kekuatan untuk membentengi dan membela umat Islam di mana pun. Sementara itu,
gerakan Islamis bertujuan menerapkan syariat Islam atau negara Islam. kesalahan
paling fatal yang pernah dilakukan manusia adalah pemaknaan agama dengan
kekuatan. Dan, diakui atau tidak, pemaknaan agama sebagai kekuatan terjadi
hampir merata di semua agama. Sehingga, suatu agama menjadi ancaman bagi agama
yang lain. Relasi antarumat beragama pun terjebak dalam kecurigaan, ketegangan,
bahkan kekerasan.
Pada perkembangan berikutnya, pemaknaan
tersebut melahirkan terma politik yang “diagamakan”. Misalnya, istilah
mayoritas dan minoritas, kemudian disebut “agama mayoritas” dan “agama
minoritas’. Karena pemaknaan tersebut, Yahudi menjadi Zionis, Kristen menjadi
asosial, dan Islam menjadi tak terpisahkan dari kekerasan.
Keanggotaan OKI juga menjadi permasalahan
tersendiri. Sebagaimana dimaklumi, OKI menetapkan negara-negara berpenduduk
muslim sebagai syarat utama menjadi anggota tetapnya. Bukan aliran atau sekte.
Hingga saat ini, sudah 59 negara berpenduduk muslim yang bergabung dengan OKI.
OKI pun menjadi elitis dan eksklusif. Menjadi elitis karena OKI hanya
melibatkan pihak-pihak pengambil kebijakan seperti kepala negara dan menteri.
Hal tersebut terlihat jelas dalam setiap konferensi OKI, baik yang bersifat
reguler (tiga tahun sekali) maupun darurat. Kalaupun melibatkan pihak lain
seperti Sekjen PBB, kalangan intelektual, dan lainnya, itu tak lebih sekadar
“tamu kehormatan”. Mereka tidak mempunyai hak untuk masuk lebih jauh ke dalam
pembahasan konferensi dalam bentuk kebijakan.
Bahkan, OKI juga menjadi eksklusif. Tak hanya
bagi “sosok lain” yang tidak “islami”, melainkan juga terhadap umat Islam.
Tokoh-tokoh muslim pada tingkat lokal (darah) -apalagi umat Islam- tidak bisa
ambil bagian dalam perumusan masalah serta pengambilan kebijakan. Padahal, bila
mau jujur, para intelektual muslim secara umum dan yang di daerah secara
khusus, maaf, jauh lebih penting daripada para pengambil kebijakan itu.
Alasannya sederhana. Secara akademis, mereka cukup merasakan “asam garam”
kehidupan umat Islam dalam menghadapi berbagai problema. Di sisi lain, mereka
lebih dekat dengan masyarakat. Karena itu, mereka cukup memahami problem
keumatan yang selama ini bergulir di masyarakat.
Dalam kondisi seperti itu, OKI tak hanya
gagal menyatukan umat Islam, tapi telah menjadi “serpihan”, bahkan penyebab
perpecahan tersebut. OKI gagal menjadi “payung besar” yang bisa menaungi umat
Islam di ragam sekte, aliran, negara, suku, dan budayanya. Sebaliknya, OKI
justru memperbanyak angka sekte dalam Islam.
Ø
Langkah-langkah OKI ke Depan
Ada tiga hal yang mendesak untuk dilakukan ke
depan.
a)
Pertama, reformasi sistem keanggotaan OKI. Dari sekadar melibatkan
negara dan para pengambil kebijakan menuju tokoh-tokoh lokal yang tersebar di
ragam aliran yang ada. Dengan kata lain, OKI semestinya mengembangkan “kepak”
sayap hingga mencakup sekte-sekte Islam, selain negara-negara Islam. Ibarat
payung besar, OKI harus bisa menaungi umat Islam di semua aliran dan negaranya.
Diakui atau tidak, ketegangan, kecurigaan, bahkan kekerasan antarsekte Islam
sudah merupakan fakta historis yang cukup ironis. Ketegangan antara kelompok
Syiah dan Sunni di Iraq, Ikhwan Muslimin dan kalangan Islam moderat di Mesir,
serta Islam mayoritas dan Ahmadiyah di tanah air merupakan permasalahan serius
yang tak gampang diselesaikan.
b)
Kedua, inklusivitas OKI, terutama di ranah teologis. Diakui atau tidak,
OKI selama ini hanya mencerminkan dua aliran besar dalam Islam. Yakni, Syiah
dan Ahlussunnah. Aliran lain seperti Ahmadiyah tidak mempunyai ruang dalam diri
OKI. Padahal, baik secara kualitas maupun kuantitas, Ahmadiyah tak kalah besar
dari dua aliran Syiah dan Ahlussunnah.
c)
Ketiga, konsensus (ijma’) keumatan. Selama ini, umat Islam kalangan
agamawan khususnya sering “berpapasan” dengan ijma’ tersebut. Sebab, ijma’
menempati posisi yang sangat strategis dalam hukum Islam. Yaitu, dasar kedua
setelah Alquran dan sunah. Namun, harus jujur diakui, ijma’ pada masa sekarang
ibarat “makhluk langka”.
Ijma’ tidak tampak dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat, kecuali dalam bentuk cerita masa lalu. Dalam
kitab-kitab klasik, misalnya, ditengarai bahwa ulama ini, sahabat ini, pernah
mencapai ijma’ seperti ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar